Pers dalam Negara Demokrasi
Sabtu 26 Agustus 2017, 22:20 WIB
Dalam negara demokrasi, kebebasan pers menjadi prasyarat utama majunya demokrasi. Begitupun di Indonesia, sebagai negara demokratis kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat (freedom of opinion) telah mendapat jaminan dari UUD 1945. Bahkan di era demokratisasi pers selalu digadang-gadangkan sebagai the fourth estate (pilar demokrasi keempat) setelah eksekutif, legislative dan yudikatif. Dengan kedudukan itu, pers mampu menjalankan fungsi control nya untuk mempersempit ruang gerak penyalahgunaan kekuasaan.
Pers bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi, Walaupun berada di luar sistem politik formal pers memiliki posisi strategis dalam mendidik publik dan menjadi alat kontrol sosial. Itulah sebabnya pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara karena perannya yang lebih kuat dibanding ketiga pilar demokrasi lain yang selalu berpotensi melakukan abuse of power.
Dalam sejarahnya, pers telah mengalami pasang surut perubahan paradigma, dan perubahan tersebut senafas dengan iklim yang mewarnai perjalanan pers itu sendiri. Fred S. Siebert, dkk menjelaskan empat perkembangan pers sejak abad ke-16 sampai akhir abad ke-19, yang dimulai dari masa kerajaan di Inggris yang otoriter. Saat itu, pers dianggap bagian dari kekuasaan kerajaan yang absolut dengan system pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan dan kerajaan menguasai langsung kehidupan pers. Pers diposisikan sebagai “corong” kerajaan untuk mencapai tujuan kerajaan bagi kemajuan rakyatnya.
Siebert, membedah pers ke dalam empat masa perkembangan. Yakni, Pers Otoritarian (muncul erat kaitannya dengan pandangan filosofi tentang hakekat negara dan masyarakat), Pers Libertarian (menghapus stigma negative terhadap pers yang berkembang di era otoritarian), Pers Tanggung jawab Sosial (Social Responsibility) dimana pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat bila tidak ingin terjadi dekadensi moral dalam masyarakat, dan Pers Komunis yang bertitik pangkal dari pandangan Karl Marx tentang perubahan social.
Di Indonesia, sejarah pers sudah cukup tua. Dimulai sejak zaman VOC melalui lahirnya berbagai aturan hukum sampai tahun 1856, Pasca tahun ini Kolonialisme Belanda memberlakukan sensor preventif melalui Drukpers Reglement; atau mengeluarkan Presbreidel Ordonantie (1931) untuk sensor represif. Lepas dari Belanda, Jepang menjadikan pers sebagai alat propaganda untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya dengan pengawasan represif yang sangat ketat. Pengawasan tersebut dilakukan melalui Undang Undang Nomor 16 tahun 1942 yang dikenal dengan “Osamu Serei”.
Memasuki era kemerdekaan, pers di Indonesia mengalami pasang surut yang beragam sesuai dengan karakteristik pemerintahan. Diantara regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintahan Soekarno adalah Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; Peperti Nomor 2 tahun 1961 tentang Pengawasan dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; Kepres Nomor 307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; Dekrit Presiden Nomor 6 tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers. Kemudian di zaman Orde Baru. Diterbitkan pula Peraturan Menpen tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit, dan Peraturan Menpen Nomor 1 tahun 1984 tentang SIUPP.
Masuk era Reformasi, pertumbuhan media mengalami perkembangan yang signifikan. Hal itu terjadi karena bergantinya era dari otoritarian ke libertarian. Undang Undang Pers yang membelenggu kebebasan pers dan membuat fungsi pers menjadi mandul dicabut, lalu diganti dengan Undang Undang Pers yang lebih populis. Bahkan yang paling fenomenal adalah untuk mendirikan perusahaan pers tidak diperlukan izin seperti berlaku di masa Orde Baru. Ketentuan yang longgar ini mengundang lahirnya penerbitan dalam jumlah yang tidak terdata mulai dari pers mainstream sampai kepada pers partisipan. Baik dalam bentuk media cetak, elektronik apatah lagi online.
Kebebasan pers, menurut Bagir Manan, diperlukan sebagai instrumen penyampai informasi yang benar, baik kepada masyarakat secara umum maupun kepada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan; Sebagai instrumen pertukaran pikiran secara bebas (free market of ideas); Sebagai instrumen perubahan dan kemajuan (agent of change); Sebagaii instrumen penjaga ketertiban sosial (public or social order); Sebagai instrumen kontrol terhadap kekuasaan; Sebagai instrumen yang ikut mengantarkan mencapai cita-cita bangsa mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat; dan Sebagai instrumen penyebar nilai-nilai kemanusiaan, membangun saling pengertian, keterbukaan dan toleransi. Jadi, jangan pernah ada pendapat yang mengabaikan peran pers dalam sebuah negara demokrasi. Termasuk di Indonesia.*
Penulis: PU/Pemred/Penjab AZAM & berazamcom
Pers bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi, Walaupun berada di luar sistem politik formal pers memiliki posisi strategis dalam mendidik publik dan menjadi alat kontrol sosial. Itulah sebabnya pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara karena perannya yang lebih kuat dibanding ketiga pilar demokrasi lain yang selalu berpotensi melakukan abuse of power.
Dalam sejarahnya, pers telah mengalami pasang surut perubahan paradigma, dan perubahan tersebut senafas dengan iklim yang mewarnai perjalanan pers itu sendiri. Fred S. Siebert, dkk menjelaskan empat perkembangan pers sejak abad ke-16 sampai akhir abad ke-19, yang dimulai dari masa kerajaan di Inggris yang otoriter. Saat itu, pers dianggap bagian dari kekuasaan kerajaan yang absolut dengan system pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan dan kerajaan menguasai langsung kehidupan pers. Pers diposisikan sebagai “corong” kerajaan untuk mencapai tujuan kerajaan bagi kemajuan rakyatnya.
Siebert, membedah pers ke dalam empat masa perkembangan. Yakni, Pers Otoritarian (muncul erat kaitannya dengan pandangan filosofi tentang hakekat negara dan masyarakat), Pers Libertarian (menghapus stigma negative terhadap pers yang berkembang di era otoritarian), Pers Tanggung jawab Sosial (Social Responsibility) dimana pers harus disertai dengan tanggung jawab kepada masyarakat bila tidak ingin terjadi dekadensi moral dalam masyarakat, dan Pers Komunis yang bertitik pangkal dari pandangan Karl Marx tentang perubahan social.
Di Indonesia, sejarah pers sudah cukup tua. Dimulai sejak zaman VOC melalui lahirnya berbagai aturan hukum sampai tahun 1856, Pasca tahun ini Kolonialisme Belanda memberlakukan sensor preventif melalui Drukpers Reglement; atau mengeluarkan Presbreidel Ordonantie (1931) untuk sensor represif. Lepas dari Belanda, Jepang menjadikan pers sebagai alat propaganda untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya dengan pengawasan represif yang sangat ketat. Pengawasan tersebut dilakukan melalui Undang Undang Nomor 16 tahun 1942 yang dikenal dengan “Osamu Serei”.
Memasuki era kemerdekaan, pers di Indonesia mengalami pasang surut yang beragam sesuai dengan karakteristik pemerintahan. Diantara regulasi yang diterbitkan oleh Pemerintahan Soekarno adalah Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; Peperti Nomor 2 tahun 1961 tentang Pengawasan dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; Kepres Nomor 307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; Dekrit Presiden Nomor 6 tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers. Kemudian di zaman Orde Baru. Diterbitkan pula Peraturan Menpen tahun 1970 tentang Surat Izin Terbit, dan Peraturan Menpen Nomor 1 tahun 1984 tentang SIUPP.
Masuk era Reformasi, pertumbuhan media mengalami perkembangan yang signifikan. Hal itu terjadi karena bergantinya era dari otoritarian ke libertarian. Undang Undang Pers yang membelenggu kebebasan pers dan membuat fungsi pers menjadi mandul dicabut, lalu diganti dengan Undang Undang Pers yang lebih populis. Bahkan yang paling fenomenal adalah untuk mendirikan perusahaan pers tidak diperlukan izin seperti berlaku di masa Orde Baru. Ketentuan yang longgar ini mengundang lahirnya penerbitan dalam jumlah yang tidak terdata mulai dari pers mainstream sampai kepada pers partisipan. Baik dalam bentuk media cetak, elektronik apatah lagi online.
Kebebasan pers, menurut Bagir Manan, diperlukan sebagai instrumen penyampai informasi yang benar, baik kepada masyarakat secara umum maupun kepada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan; Sebagai instrumen pertukaran pikiran secara bebas (free market of ideas); Sebagai instrumen perubahan dan kemajuan (agent of change); Sebagaii instrumen penjaga ketertiban sosial (public or social order); Sebagai instrumen kontrol terhadap kekuasaan; Sebagai instrumen yang ikut mengantarkan mencapai cita-cita bangsa mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat; dan Sebagai instrumen penyebar nilai-nilai kemanusiaan, membangun saling pengertian, keterbukaan dan toleransi. Jadi, jangan pernah ada pendapat yang mengabaikan peran pers dalam sebuah negara demokrasi. Termasuk di Indonesia.*
Penulis: PU/Pemred/Penjab AZAM & berazamcom
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Komentar Anda
Indeks
Kamis 02 November 2023, 17:23 WIB
Impeachment Jokowi
Sabtu 21 Oktober 2023, 00:34 WIB
''Quo Vadis Mahkamah Konstitusi''
Jumat 13 Oktober 2023, 00:45 WIB
BRK Syariah Mencari Dirut, Siapa ‘Jagoan’ Syamsuar?
Sabtu 23 September 2023, 10:31 WIB
Pilpres 2024: Dua atau Tiga Pasang?
Selasa 05 September 2023, 23:50 WIB
Nasib Demokrat
Sabtu 02 April 2022, 19:42 WIB
Marhaban ya Ramadhan
Kamis 10 Maret 2022, 16:34 WIB
Mutiara dari Pesisir
Sabtu 26 Februari 2022, 16:37 WIB
Tersandung "Gonggongan Anjing"
Sabtu 19 Februari 2022, 09:39 WIB
Catatan Tiga Tahun
Syamsuar - Edi Natar
Kamis 10 Februari 2022, 06:57 WIB
Menata Kembali Industri Pers
Berita Pilihan
Jumat 08 Maret 2024
Stikes Tengku Maharatu Wisuda Lagi 231 Sarjana Kesehatan dan Profesi Ners
Senin 22 Januari 2024
Letakan Batu Pertama, Stikes Tengku Maharatu Bangun Kampus Empat Lantai
Selasa 28 November 2023
Satu Jam Bersama Gubernur Riau Edy Natar : Mimpi Sang Visioner dan Agamis
Selasa 21 November 2023
Silaturahmi IKBR dengan Plt Gubri, Edy Nasution: Insha Allah Saya Maju
Minggu 01 Oktober 2023
Bravo 28 Usulkan Ganjar-Jokowi Pasangan Pilpres 2024
Rabu 27 September 2023
Hendry Ch Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028
Rabu 20 September 2023
Perginya Dosen Ramah, Humoris, dan Rendah Hati
Senin 18 September 2023
Wow! Ternyata Harga Kontrak Impor LNG Pertamina yang Disidik KPK Jauh lebih Murah dari Harga LNG Domestik
Senin 11 September 2023
Menkominfo Mau Pajaki Judi Online, Ini Kata CERI
Sabtu 09 September 2023
Jalin Silaturahmi, Sahabat Fuja ''Sejiwa Sehati'' Gelar Turnamen Domino Diikuti 500 Peserta
Berita Terkini
Kamis 28 Maret 2024, 23:22 WIB
CERI Pertanyakan Sikap Presiden Jokowi Soal Negosiasi 61 Persen Saham Freeport Alot
Kamis 28 Maret 2024, 17:59 WIB
Mahasiswa Sulap Limbah Tahu dan Kotoran Sapi Jadi Biogas dalam Waktu Singkat
Kamis 28 Maret 2024, 12:09 WIB
Berkah Ramadhan 1445 H, UIR Berbagi 1000 Paket Berbuka Kepada Mahasiswa
Kamis 28 Maret 2024, 11:46 WIB
Jelang Idul Fitri, Disperindag Pekanbaru Imbau Masyarakat Waspadai Produk Kedaluwarsa
Kamis 28 Maret 2024, 11:01 WIB
Dishub Pekanbaru Imbau Masyarakat Lapor Jika Temukan Jukir Liar
Kamis 28 Maret 2024, 10:51 WIB
Pakar Hukum Denny Indrayana Prediksi MK Bakal Kabulkan Gugatan Pilpres Anies & Ganjar
Kamis 28 Maret 2024, 10:31 WIB
Sudah Empat Daerah di Riau Tetapkan Status Siaga Darurat Karhutla
Kamis 28 Maret 2024, 10:25 WIB
Buka Puasa Bersama IKA Faperta UIR, Selain Tausyiah, Ada Pesan dan Kesan Calon DPD RI Terpilih
Rabu 27 Maret 2024, 11:50 WIB
Perludem Sebut Gugatan Anies dan Ganjar Berpeluang Membalikkan Hasil Pilpres
Rabu 27 Maret 2024, 10:30 WIB
Mudik Lebaran, Ini Pesan Kapolda Riau Kepada Warga