Selasa, 26 September 2023

Breaking News

  • Jadi Tersangka KPK, Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Kirim Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi   ●   
  • Bus Adminduk Keliling Pekanbaru Ikut Roadshow Bersama Bus KPK   ●   
  • Hari Kelima Sejak Dibuka, Belum Ada Pelamar Mendaftar Seleksi Calon Dirut BRK Syariah   ●   
  • PP Muhammadiyah Dukung DPD RI Teruskan Gagasan Koreksi Sistem Bernegara   ●   
  • Ciptakan Tata Kelola Pemerintahan Bebas KKN,KPK dan Pemprov Riau Launching Aplikasi WBS   ●   
Oleh : Kamsul Hasan Pemerhati Media Massa/Wartawan Senior
Pendataan atau Verifikasi Faktual?
Minggu 14 Juni 2020, 15:01 WIB

Orde baru (Orba) mengontrol pers dengan perizinan seperti SIT / STT, Izin Cetak Pangkopkamtib dan berakhir dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP menjadi barang yang mahal, sebelum Orba tumbang. Harganyai Rp 3-4 miliar dan pemilik lama masih dapat saham. Reformasi mengubah segalanya, pada masa transisi antara tahun 1998-1999, SIUPP sudah tak bernilai karena siapa saja bisa memperoleh. Ditjen PPG Departemen Penerangan pada era transisi hanya meminta pemohon SIUPP mengajukannya dengan berkas rangkap tiga diberikan map dan SIUPP keluar. Apa yang dilakukan era transisi itu akhirnya mengilhami perubahan UU No. 21 tahun 1982 menjadi UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, intinya pers harus dikelola oleh perusahaan berbadan hukum khusus. Namun perizinan yang dianggap sebagai kontrol penguasa hilang, jadi tidak ada SIUPP lagi. Pendataan yang dilakukan Deppen dialihkan kepada Dewan Pers independen, sesuai Pasal 15 UU Pers. Tugas Dewan Pers menurut UU Pers adalah pendataan dengan melakukan verifikasi ; 1. Apakah memenuhi syarat Pasal 1 angka 1 2. Apakah usaha perusahaan pers tidak campur dengan kegiatan lain sebagaimana Pasal 1 angka 2 3. Apakah badan hukumnya memenuhi syarat Pasal 9 ayat (2) 4. Apakah ada penanggung jawab dan alamat redaksi yang presisi sebagai pertanggungjawaban hukum, sesuai Pasal 12 Bila keempat unsur di atas terpenuhi, maka Dewan Pers harus mendatanya masuk dalam Perusahaan Pers Indonesia sesuai perintah UU seperti era Deppen masa transisi. Verifikasi Faktual ternyata tidak hanya memeriksa empat syarat yang diperintahkan UU sebagaimana di atas tetapi juga aspek permodalan perusahaan pers. Inilah yang kemudian menjadi "kegaduhan" Dewan Pers dinilai sebagian masyarakat pers berperan melebihi Departemen Penerangan pada rezim Orba. "Kegaduhan" bertambah ketika ada yang gunakan Verifikasi Faktual sebagai senjata. Kerja sama media oleh sejumlah pemerintah daerah disyaratkan terverifikasi faktual. Begitu juga saat terjadi sengketa yang ditanyakan oleh penyidik apakah sudah terverifikasi faktual ? Padahal pers nasional itu syaratnya empat butir di atas, bukan Verifikasi Faktual ! Meluruskan Penggunaan Verifikasi Faktual Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun menegaskan tidak ada surat edaran kepada instansi bila kerjasama media harus dengan perusahaan pers terverifikasi faktual. Bahkan Hendry, menantang ratusan wartawan yang hadir saat sosialisasi di Karawang, beberapa waktu lalu. "Jangan hanya isu, buktikan, mana surat itu bila ada," tegasnya. Begitu juga Ketua Dewan Pers, M. Nuh saat hari pers di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menegaskan tidak ada larangan itu. Kebijakan kerja sama sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Masih terkait verifikasi faktual, ternyata juga dijadikan landasan pertanyaan penyidik saat menangani sengketa pemberitaan media. Pertemuan ahli pers di HPN Banjarmasin, menegaskan sengketa pemberitaan yang harus diteliti adalah perintah UU Pers menyangkut Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 UU Pers. Ledakan media belakang ini membuat sejumlah instansi kewalahan menerima permohonan kerja sama. Cara gampang adalah memanfaatkan verifikasi faktual. Seakan-akan verifikasi faktual itu adalah persyaratan, padahal petinggi Dewan Pers sudah menyatakan tidak ada larangan. Kebijakan kerja sama diserahkan kepada pengguna anggaran. Isu lainnya adalah menjadi temuan BPK bila kerja sama tidak dengan perusahaan pers terverifikasi faktual. Ini juga sudah dibantah oleh instansi tersebut. Bila anggaran kerja sama media dalam hal ini pers namun diberikan kepada media yang tidak berbadan hukum pers Indonesia maka itu temuan dan masalah. Definisi pers dan badan hukum perusahaan pers sudah jelas menurut Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Hal ini yang tidak boleh dilanggar dalam penggunaan anggaran. Anehnya, saat kerja sama dengan pers sangat ketat, sementara anggaran publikasi digunakan juga untuk influencer dan Google tanpa persyaratan verifikasi faktual. Jangan heran bila kemudian oleh Google penempatan juga tidak gunakan syarat verifikasi faktual. Media yang bekerja sama dengan Google bisa mendapatkan AdSense. Influencer juga tak terverifikasi faktual tetapi dapat anggaran publikasi dan tidak jadi temuan BPK, jadi boleh !*



Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com


Komentar Anda
Indeks


About Us

Berazamcom, merupakan media cyber berkantor pusat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Indonesia. Didirikan oleh kaum muda intelek yang memiliki gagasan, pemikiran dan integritas untuk demokrasi, dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kata berazam dikonotasikan dengan berniat, berkehendak, berkomitmen dan istiqomah dalam bersikap, berperilaku dan berperbuatan. Satu kata antara hati dengan mulut. Antara mulut dengan perilaku. Selengkapnya



Alamat Perusahaan

Alamat Redaksi

Perkantoran Grand Sudirman
Blok B-10 Pekanbaru Riau, Indonesia
  redaksi.berazam@gmail.com
  0761-3230
  www.berazam.com
Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top