Oleh: Alex Sander
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Riau)
Belakangan ini, kalangan selebriti seolah berpacu untuk membuat konten tentang anak-anak mereka. Segala kegala kegiatan dan aktivitas anak disorot, mulai dari bermain, pergi liburan, perkembangan anak, berenang, berbelanja, ngambek, bahkan anak yang sedang tantrum, tidak terlepas dari sorotan kamera orangtua mereka.
Nama-nama besar selebriti tanah air seperti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dengan anak mereka Rayyanza, kemudian Gading Marten dan Gisel dengan Gempita, serta Atta Halilintar dan Aurell dengan anaknya Ameena Hanna Nur Atta, kemudian Lesti Kejora dan Rizky Billar Al Fatih, dan banyak lagi yang lainnya, sering kali terlihat membagikan momen-momen pribadi anak-anak mereka di platform seperti Instagram dan YouTube.
Bahkan, ada juga beberapa anak selebriti ini memiliki akun media sosial sendiri yang dikelola oleh orangtua mereka, dengan jumlah pengikut yang mencapai jutaan, salah satunya anak Raffi Ahmad, yang akrab dipanggil Cipung, yang memiliki follower sebanyak 3,9 juta, atau nyaris mencapai 4 juta pengikut. Kemudian juga ada Nastusha Olivia Alinskie, anak dari pasangan Chelsea Olivia dan Glenn Alinskie, kemudian Air Rumi Akbar, anak dari Irish Bella dan Ammar Zoni, kemudan Thalia Putri Onsu, anak pasangan Ruben Onsu dan Sarwendah.
Mungkin kita pernah mendengar istilah sharenting, yakni akronim dari share dan parenting. Tidak ada yang salah ketika orangtua ingin mendokumentasikan tentang anak-anak mereka, dan berbagi pengalaman dengan orangtua lainnya. Namun ketika hal itu menjadi informasi bebas dan terbuka, serta bisa dimanfaatkan oleh orang yang tidak berkepentingan, maka hal itu akan menjadi berbahaya.
Fenomena ini tidak hanya terbatas pada kegiatan dokumentasi momen-momen sehari-hari saja, tetapi juga melibatkan anak-anak dalam berbagai bentuk kerjasama komersial, seperti endorse produk dan iklan. Anak-anak sering kali tampil dalam konten yang dirancang untuk mempromosikan produk atau jasa, yang pada akhirnya memberikan keuntungan finansial bagi orangtua mereka. Meskipun ini memberikan sumber pendapatan tambahan, ada kekhawatiran yang mendalam tentang potensi eksploitasi anak.
Eksploitasi anak melalui konten media sosial orangtua dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan anak untuk tujuan mendapatkan keuntungan, baik secara finansial maupun non-finansial, tanpa memperhatikan hak dan kepentingan anak. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan etis dan moral tentang privasi, keamanan, dan kesejahteraan anak. Anak-anak yang menjadi objek dalam konten ini sering kali belum cukup umur untuk memahami konsekuensi dari eksposur publik yang berlebihan dan tidak memiliki kendali atas informasi pribadi yang dibagikan.
Teori kultivasi media sosial yang dikemukakan oleh George Gerbner pada tahun 1969, memberikan kerangka teori yang berguna untuk memahami bagaimana paparan media yang berulang dapat mempengaruhi pandangan dan perilaku publik. Dalam konteks eksploitasi anak melalui konten media sosial dalam pembahasan hal ini, teori kultivasi membantu menjelaskan bagaimana normalisasi perilaku tertentu dapat terjadi dan bagaimana hal itu dapat membentuk persepsi publik tentang peran anak dalam keluarga dan masyarakat.
Penggunaan anak sebagai alat pemasaran atau sarana untuk menarik perhatian di media sosial menciptakan dinamika yang kompleks. Di satu sisi, media sosial memberikan platform bagi orangtua untuk berbagi momen berharga dan mendokumentasikan pertumbuhan anak mereka. Namun, di sisi lain, ketika konten tersebut dimonetisasi atau digunakan untuk tujuan komersial, hal itu dapat mengaburkan garis antara dokumentasi pribadi dan eksploitasi.
Memang tidak bisa dipungkiri, di era digital ini, perubahan besar dalam interaksi dan komunikasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan antara orangtua dan anak.
Fenomena sharenting beberapa kali telah sempat memicu debat tentang hak anak, privasi, dan etika dalam penggunaan media sosial. Beberapa pihak berpendapat bahwa membagikan momen anak di media sosial adalah bentuk pengasuhan yang positif, yang dapat menginspirasi dan menghibur orang lain. Akhirnya lama-kelamaan hal ini dimaklumi, dan terus terjadi, menjadi sebuah realita yang dilazimkan.
Padahal, dibalik itu terdapat dampak jangka panjang dari eksposur publik yang berlebihan terhadap anak-anak, termasuk risiko keamanan, bullying, dan tekanan untuk memenuhi standar yang tidak realistis, dan lainnya.
Kita mungkin masih ingat kejadian sekitar 11 tahun lalu, yakni pada 2013, dimana anak pasangan Nassar dan Musdalifah diculik. Setelah penculik tertangkap, terungkap sebuah fakta bahwa, niat penculik muncul karena Nassar dan Musdalifah ketika itu sering membagikan kehidupan mewah mereka, dan anak mereka juga ikut disorot media televisi saat itu.
Dari salah satu kejadian ini kita melihat bagaimana dampak dari munculnya anak-anak di sorot dan ditonton khalayak menjadi konsumsi publik semua informasi yang dihadirkan. Belum lagi dampak-dampak berbahaya lainnya.
Dalam kajian teori kultivasi dalam membahas hal ini, kita akan melihat bagaimana normalisasi perilaku eksploitasi anak, yang akhirnya menjadi sebuah hal yang lumrah dan biasa. Paparan konten eksploitasi anak yang berulang kali dapat menormalisasi perilaku tersebut di mata publik. Publik menjadi terbiasa melihat anak dieksploitasi di media sosial dan menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Hal ini juga mendorong orangtua lain untuk meniru perilaku tersebut, dan eksploitasi anak melalui konten di media sosial menjadi praktik yang semakin umum dan diterima.
Dampak ini bisa bisa kita lihat secara langsung saat ini, dengan banyaknya bermunculan akun-akun YouTube pemula dengan objek konten anak-anak, yang jelas-jelas tujuannya bukan hanya untuk dokumentasi belaka, tapi mendapatkan keuntungan dari sana, dengan mengejar jumlah tayang di YouTube, mendapatkan endorse di Instagram, dan banyak lagi bentuk pendapatan lainnya.