Menguak Aktor-Aktor Politik Hoaks di Tahun Politik
Kamis 15 Maret 2018, 09:42 WIB
Kemunculan berita hoaks diyakini berkaitan dengan intensitas aktivitas politik apalagi menjelang Pemilu. Benarkah?
Jakarta, Berazam-Istilah hoaks begitu akrab dalam beberapa tahun terakhir. Sampai-sampai, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemdikbud) memasukkan istilah ini ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hoaks didefinisikan sebagai "berita bohong".
Peneliti media dan pengajar senior pada School of Culture, History and Language, Australian National University (ANU) dan Direktur ANU Malaysia Institute, Ross Tapsell menyebut ada kekhawatiran besar soal maraknya "berita hoaks" setelah Pilkada DKI Jakarta 2017.
Produksi hoaks hampir dipastikan bermotif politik praktis. Jumlah berita hoaks menjadi-jadi jelang hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada.
Menurut peneliti senior dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi mengatakan motif politik yang dominan dalam hoaks, maka yang mesti diwaspadai adalah para politisi atau orang-orang hendak maju dalam pemilihan. Orang-orang seperti ini lah yang paling mungkin menjadi "aktor intelektual" di balik beredarnya hoaks.
"Orang kalau sudah ingin berkuasa bisa bunuh-bunuhan," kata J. Kristiadi dalam diskusi bertema "Menguak Aktor-Aktor Politik Hoaks di Tahun Politik" di Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Makna "bunuh-bunuhan" yang dimaksud J. Kristiadi tentu bukan dalam arti sebenarnya. Namun, berbagai cara dipakai seseorang untuk mengalahkan lawan politik—termasuk menyebarkan hoaks.
Namun, pengamat komunikasi dari UGM, Kuskridho Ambardi tak sependapat dengan J. Kristiadi. Kuskridho mengatakan masalah hoaks tak hanya motif politik. Ia berpendapat rodusen hoaks juga mendapatkan keuntungan komersil. Motif politik dan ekonomi sama-sama terorganisir, sedangkan penyebar hoaks individu tidak terikat kelompok tertentu.
Bila melihat dalam konteks politik praktis, maka ketiga motif ini berpengaruh terhadap kualitas hasil Pemilu. Alasannya, banyak pemilih yang menetapkan pilihan untuk memilik kandidat tertentu dan bukan kandidat lain berdasarkan berita di media massa atau media sosial.
"Kita berbicara arti pentingnya informasi yang benar dan akurat. Hoaks itu informasi tak benar. Dari sana nilai demokrasi dipertaruhkan karena keputusan politik yang berdasarkan informasi tak benar akan berdampak pada pilihan yang salah," kata Kuskridho.
Kuskridho yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) menambahkan penyebaran hoaks didukung kebiasaan media massa di Indonesia yang malas melakukan verifikasi atau konfirmasi sebelum menayangkan informasi. Akibatnya, banyak berita yang kebenarannya meragukan. Keberadaan berita-berita seperti itu juga berpengaruh terhadap proses politik yang sedang berjalan.
"Yang sering terjadi, berita yang bohong dipercaya sebagai berita benar dan dijadikan basis memilih. Padahal yang viral belum tentu berita yang bagus, bisa saja sensasional dan bohong, dan itu makin banyak serta di-pushpara cyber army," katanya.
Untuk kadar tertentu, sebuah media massa juga bisa berperan sebagai penyebar hoaks. Direktur NU Online Muhammad Syafi' Alielha atau Savic Ali punya pendapat soal asal usul hoaks.
Menurutnya, hoaks tercipta karena adanya krisis legitimasi terhadap media arus utama. Penguasaan media oleh segelintir konglomerat menjadi salah satu sebab menurunnya kepercayaan. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap media membuat mereka memproduksi berita independen.
Rendahnya Literasi Informasi
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sudjito, mengatakan bahwa hoaks bisa menyebar dan berdampak besar, misalnya dapat memicu konflik dan kekerasan Ia menilai masyarakat semakin permisif terhadap hoaks.
"Ruang publik kita sudah kotor kalau jelang Pemilu dan Pilkada bukan debat program atau refleksi [yang muncul] tapi hanya mereproduksi kebencian soal identitas etnis, agama, ras," ujar Arie.
Arie mengatakan bahwa produsen hoaks adalah golongan masyarakat menengah—dalam kategori ekonomi—sebab mereka yang menguasai akses informasi dan dekat dengan aktor intelektual. Dari mereka lah berita bohong dikonsumsi publik.
Mengapa masyarakat kemudian mudah percaya pada berita-berita seperti ini, karena minimnya budaya literasi informasi. Merujuk KBBI, literasi bermakna "pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu".
Dengan begitu literasi informasi dapat didefinisikan secara cair sebagai pengetahuan atau keterampilan untuk mengolah informasi yang diperoleh.
Survei daring dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada awal 2017 silam mempertegas hipotesis itu. Dari 1.116 responden, 43,10 persen merasa sulit memeriksa kebenaran atas suatu berita yang heboh, terutama informasi soal sosial-politik.
Kebiasaan untuk memilah dan memverifikasi mana berita benar dan bohong belum tumbuh di masyarakat. Di satu sisi, cepatnya peredaran hoaks juga didukung oleh infrastruktur yang memadai seperti jaringan internet dan ponsel pintar. Namun faktor ini tentu tidak bisa disalahkan.
"Kampanye anti hoaks harus dilakukan, termasuk melalui strategi pendidikan," kata Arie. "Supaya tidak menciptakan efek berantai [dari share hoaks]," katanya. *
bazm2
Sumber: Tirto.id
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Komentar Anda
Berita Terkait
Berita Pilihan
Selasa 10 September 2024
PATEN, Balon Walikota Edy Nasution Orang Pertama Hadir di Polresta Pekanbaru
Sabtu 07 September 2024
Dr Mexsaxai Indra SH MH: Forum Warek Akademik BKS-PTN Barat Bahas Percepatan Menuju World Class University
Jumat 30 Agustus 2024
Pasangan Edy Natar-Dastriani Bibra 'Berlayar' di Pilkada Pekanbaru Meski Ada Perubahan Dukungan
Senin 19 Agustus 2024
Pilkada Serentak, Momentum Mahasiswa Laksanakan Tugas Sebagai Agen Perubahan
Kamis 25 Juli 2024
Sukses, Seminar Antarabangsa ke-12 “EHMAP” Kerjasama Unri-UKM Malaysia Bahas 60 Paper
Selasa 23 Juli 2024
Tekor Berkepanjangan, Majalah GATRA Akhirnya Tutup !
Selasa 23 Juli 2024
FKPRM dan PPMR Keluarkan Pernyataan Sikap, Tolak Pembalonan Nasir
Senin 15 Juli 2024
Blak -Blakan Robert Hendrico Terkait Kepemimpinan Pj Gubernur Riau SF Hariyanto
Rabu 10 Juli 2024
Diam-diam, Senator Riau Empat Periode Instiawaty ''Iin'' Ayus Ini Gelontorkan APBN untuk Atasi Banjir
Senin 24 Juni 2024
Seleksi Masuk Unri Jalur Mandiri PBUD/PBM: Nilai UTBK Jadi Penentu Jika Pendaftar Lebihi Kuota
Berita Terkini
Selasa 10 September 2024, 20:06 WIB
5.708 Mahasiswa Baru Padati Gor Volly Ikuti PKKMB UIR 2024
Selasa 10 September 2024, 20:01 WIB
Datangi Posko Tim PATEN, KBPP Siap Dukung dan Menangkan Pasangan Balon Walikota Edy-Bibra
Selasa 10 September 2024, 19:58 WIB
PATEN: Disiplin yang Mendarah Daging pada Balon Walikota Edy Nasution
Selasa 10 September 2024, 19:40 WIB
Risau dengan Dunia Pendidikan Riau, Ribuan Massa Forum LSM Riau Bersatu Dipastikan Turun Demo Kamis Ini
Selasa 10 September 2024, 13:18 WIB
Iso Siap Bertarung, KPUD Siak Nyatakan Berkas Irving-Sugianto Lengkap
Selasa 10 September 2024, 10:25 WIB
PATEN, Balon Walikota Edy Nasution Orang Pertama Hadir di Polresta Pekanbaru
Selasa 10 September 2024, 09:08 WIB
CERI: Aturan KLHK Soal Perizinan Berusaha Pengelolaan Limbah B3 Dikeluhkan Banyak Pengusaha
Selasa 10 September 2024, 09:01 WIB
Diduga Terlibat Kecurangan, Bank Mayapada Dituduh Rampok Aset Nasabah
Senin 09 September 2024, 22:03 WIB
Sekdaprov Riau SF Hariyanto Ajak Pendeta Se-Duri Sukseskan Pilkada Damai
Senin 09 September 2024, 17:51 WIB
Survey Indikator Politik: Pasangan Zukri-Husni Tamrin Unggul di Pilkada Pelalawan 2024