Bahaya di Balik Dugaan Manipulasi Data Corona COVID-19
Selasa 07 April 2020, 10:29 WIB
Sejumlah pihak meragukan data pemerintah pusat soal COVID-19, padahal akurasi sangat penting di situasi sekarang.
berazamcom-Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, mengumumkan jumlah pasien positif di Indonesia pada Senin (5/4/2020) telah mencapai 2.491 atau bertambah 218 dalam 24 jam terakhir. Dari jumlah itu, 192 orang dinyatakan sembuh, 209 orang meninggal.
Namun, apakah angka ini dapat dipercaya? Jika merujuk pernyataan beberapa pejabat, maka jawabannya tidak 100 persen. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil misalnya, meyakini jumlah penderita jauh lebih banyak dari yang diumumkan pemerintah pusat.
Dalam telekonferensi dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Jumat (3/4/2020) lalu, dia mengatakan keyakinan itu didasari pada hasil tes cepat (rapid test). "Saya meyakini, kasus kita berlipat-lipat," kata Ridwan Kamil.
Dinas Kesehatan Jawa Barat sudah melakukan uji cepat terhadap 16.686 orang per Senin (6/4/2020) kemarin. Hasilnya: 809 dinyatakan indikasi positif, 15.754 negatif, dan 70 tes invalid.
Angka tersebut lebih banyak tiga kali lipat dibandingkan dengan data gugus tugas nasional: 252 kasus positif. Jika hasil tes cepat--yang menggunakan darah--menyatakan ada indikasi positif, maka yang bersangkutan akan dicek lagi dengan metode PCR atau swab test yang memanfaatkan cairan di tenggorokan. Metode ini dianggap paling valid.
Apa yang diumumkan pemerintah pusat adalah hasil dari swab test ini. Masalahnya, kapasitas swab test terlalu rendah, atau menurut Ridwan Kamil "jumlahnya terbatas."
Kapasitas tes ini banyak disorot masyarakat, termasuk oleh warganet, dan mengarah ke dugaan 'manipulasi'. Penambahan pasien positif yang beberapa hari terakhir rata-rata 100 dianggap hasil dari keberhasilan pemerintah karena itu menandakan kurva penambahan melandai.
Masalahnya, jumlah pengetesan juga berada di angka tersebut. Pada Senin 30 Maret, Kementerian Kesehatan hanya mengetes 129 sampel. Seluruhnya menunjukkan hasil positif. Kejadian serupa terjadi pada esok hari, 114 sampel. Lagi-lagi semuanya menunjukkan hasil positif.
"Kalau mau main-main dengan angka, jangan se-obvious itu," komentar seorang warganet.
Sampai Minggu (5/4/2020) kemarin, Kemkes telah menggelar 11.242 tes atau bertambah 1.530 dalam satu hari. Kapasitas pengujian melonjak lebih dari 10 kali lipat dibanding pekan sebelumnya. Kendati begitu, jumlah kasus positif masih bertahan di kisaran 100an. Pada Minggu kemarin ditemukan ada 181 kasus baru.
Masalah data juga dikemukakan Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Bencana BNPB Agus Wibowo. Ia mengatakan ada perbedaan data antara instansinya ada Kemkes. Data yang disampaikan ke publik adalah milik Kemkes, dan itu, katanya, tidak bisa diakses secara utuh oleh BNPB. "Masih banyak yang tertutup," kata Agus Wibowo dalam diskusi di akun Youtube Energy Academy Indonesia, Minggu (6/4/2020).
"Feeding dari Kemkes memang terbatas datanya," tambah Agus.
BNPB juga mengakui data pemerintah pusat dan daerah berbeda. Untuk menyiasatinya, BNPB mengumpulkan keduanya. "Kami sandingkan. Tapi yang dipublikasi apa yang disampaikan Pak Yuri (juru bicara pemerintah). Tapi di belakang layar, kami punya seluruh data," ujarnya.
Kepercayaan Masyarakat Menurun
"Lebih percaya data Menkes apa Hitler mati di Garut?" Pertanyaan retoris itu disampaikan akun Twitter @raiyorke dan mendapat respons 4.054 retweets dan like 9.212. Sejumlah balasan pun mengesankan mereka lebih percaya teori konspirasi dibanding data Kemkes.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dr. Syahrizal Syarif menilai jika situasi ini tidak diluruskan, kepercayaan publik kepada pemerintah memang akan menurun. Dan itu berbahaya.
Beberapa waktu lalu pemerintah pusat memilih menerapkan opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka penyebaran COVID-19, alih-alih karantina wilayah. Dengan skema ini, kepatuhan menjadi kunci karena pemerintah tidak memenuhi kebutuhan dasar warga.
Situasinya berbeda jika dibandingkan dengan Cina yang menerapkan lockdown total. Aparat memiliki kewenangan untuk memaksa warga tinggal di rumah karena kebutuhan hidup mereka dipenuhi.
"Keakuratan dan keterbukaan data penting agar masyarakat mengetahui dan memahami informasi yang benar. Jika pemerintah berharap masyarakat ikut terlibat bersama dalam penanggulangan wabah, maka dibutuhkan ikatan saling percaya," kata Syahrizal seperti dilansir dari Tirto, Senin (6/4/2020).
Ketidakakuratan data juga berpotensi mengirim sinyal yang salah kepada masyarakat bahwa situasi saat ini aman terkendali.
Akibatnya, masyarakat menyepelekan anjuran untuk tidak keluar rumah atau social distancing. "Jangan-jangan masyarakat malah santai karena sudah melandai tiap hari cuma 100," kata aktivis gerakan Kawal Covid Ainun Najib
Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan menyampaikan untuk menghadapi pandemi COVID-19, diperlukan peran dari aktor non-pemerintah. Data yang solid dan akurat diperlukan agar intervensi yang diberikan jadi tepat sasaran. "Di lembaga pemerintah sendiri, data yang solid akan melahirkan satu kebijakan yang tepat.
Kalau ketidaktepatan data terjadi khususnya soal COVID, ya kita akan mengalami kondisi antara intervensi yang kita lakukan dengan situasi yang sebenarnya terjadi itu tidak nyambung," katanya.***
[]sumber:tirto.id
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Berita Pilihan
Rabu 15 Mei 2024
Edy Natar Nasution Kembali Berkomitmen Politik, Kembalikan Formulir Pendaftaran ke PAN Riau
Jumat 08 Maret 2024
Stikes Tengku Maharatu Wisuda Lagi 231 Sarjana Kesehatan dan Profesi Ners
Senin 22 Januari 2024
Letakan Batu Pertama, Stikes Tengku Maharatu Bangun Kampus Empat Lantai
Selasa 28 November 2023
Satu Jam Bersama Gubernur Riau Edy Natar : Mimpi Sang Visioner dan Agamis
Selasa 21 November 2023
Silaturahmi IKBR dengan Plt Gubri, Edy Nasution: Insha Allah Saya Maju
Minggu 01 Oktober 2023
Bravo 28 Usulkan Ganjar-Jokowi Pasangan Pilpres 2024
Rabu 27 September 2023
Hendry Ch Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028
Rabu 20 September 2023
Perginya Dosen Ramah, Humoris, dan Rendah Hati
Senin 18 September 2023
Wow! Ternyata Harga Kontrak Impor LNG Pertamina yang Disidik KPK Jauh lebih Murah dari Harga LNG Domestik
Senin 11 September 2023
Menkominfo Mau Pajaki Judi Online, Ini Kata CERI
Berita Terkini
Minggu 19 Mei 2024, 23:35 WIB
Silaturahmi dengan Masyarakat Lorong Pisang, Nazaruddin Nasir : Saya Maju karena Ingin Melihat Kampung Kita Maju
Minggu 19 Mei 2024, 16:51 WIB
PKKEI: Majelis Hakim Diharap Memahami dengan Benar Kasus LNG Terdakwa Karen Agustiawan Secara Utuh
Minggu 19 Mei 2024, 14:38 WIB
Ini Daftar Sahabat Pengadilan di Sidang Korupsi Mantan Dirut Karen Agustiawan
Minggu 19 Mei 2024, 11:42 WIB
3 Tahun Kepemimpinan Rektor: Sportivitas Persaudaraan Menuju UIN Suska Terbilang dan Gemilang
Sabtu 18 Mei 2024, 19:28 WIB
Ketua DPC PJS Kota Palembang Soroti Pembangunan Terminal Batubara Kramasan
Sabtu 18 Mei 2024, 18:10 WIB
Pernyataan Wan Abu Bakar Berpotensi Primordialisme, Tokoh Riau Edy Natar Nasution Angkat Bicara
Jumat 17 Mei 2024, 22:20 WIB
Dinkes Siak dan Apkesmi Gelar Webinar, Perkenalkan Program ILP
Jumat 17 Mei 2024, 10:57 WIB
Mahasiswa Hukum UIR Raih Best Speaker di Kontes Duta Wisata Riau 2024
Jumat 17 Mei 2024, 10:53 WIB
UIR Terima Bantuan Dana Pendidikan Sebesar Rp 70 Juta dari Bank Syariah Indonesia
Jumat 17 Mei 2024, 10:48 WIB
Viral! Beredar video Harimau Mati Tertabrak Mobil di Tol Permai, Ternyata Begini Faktanya