Politisi PDIP Eks Napi Narkoba Gugat UU Pilkada ke MK, Ada Apa?
Minggu 16 Januari 2022, 11:09 WIB
Politikus PDIP Hardizal menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab UU itu membuatnya terganjal maju sebagai calon Wawalkot Sungai Penuh, Jambi pada 2020 lalu karena ia mantan napi narkoba.(Foto: Gedung Mahkamah/detikcom).

Pekanbaru, berazamcom Politikus PDIP Hardizal menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tersebab UU itu membuatnya terganjal maju sebagai calon Wakil Wali Kota (Wawalkot) Sungai Penuh, Jambi pada 2020 lalu karena ia mantan narapidana narkoba.

Melansir detikcom, pada masa pendaftaran bakal pasangan calon, Hardizal telah mendapat surat mandat sebagai bakal calon Wakil Wali Kota Sungai Penuh dari Partai PDI Perjuangan, PPP, dan Partai Berkarya. Kemudian pada akhir masa pendaftaran Pilkada tahun 2020, Partai Berkarya mencabut rekomendasinya dengan alasan Hardizal memiliki catatan kriminal sebagai pengguna narkoba yang didasarkan pada SKCK. Oleh karena tidak memenuhi persyaratan, maka PDI Perjuangan dan PPP juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan Wali Kota Sungai Penuh yang lain.

Merasa dirugikan dengan peraturan terkait, Hardizal menggugat aturan itu. Yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menyatakan:

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian.

Kemudian Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i menyatakan:

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" antara lain judi, mabuk, Pemakai/pengedar Narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.

"Berlakunya Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menghalangi hak konstitusi Pemohon untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) yakni hak memilih dan hak dipilih (hak aktif dan hak pasif). Hak aktif sebagai calon dihilangkan dengan berlakunya ketentuan tersebut. Menurutnya, ketentuan tersebut diberlakukan secara akumulatif," kata kuasa hukum Hardizal, Harli sebagaimana dilansir website MK, Minggu (16/1/2022).

Lebih lanjut Harli menyebutkan, orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang sudah diadili dan dihukum masih bisa mencalonkan. Sementara pelaku tindak pidana penggunaan narkoba dihalangi seumur hidup haknya dengan kata lain tidak bisa hanya dengan keterangan SKCK.

"Berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I menghilangkan kesempatan Pemohon untuk selamanya menjadi calon kepala daerah atau hak untuk dipilih. Harli meminta untuk hak pemohon diberlakukan sama dengan pelaku pidana korupsi," ujar Harli.

Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan pembentukan rumusan Norma Pasal 7 ayat (2) huruf i dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang menyatakan perbuatan tercela sebagai salah satu prasyarat akumulatif dalam pencalonan kepala daerah, tidak sejalan atau tidak konsisten dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan seseorang yang telah menjalani hukuman pemidanaan juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan UU Pemasyarakatan. Lingkup perbuatan tercela yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i tersebut terlalu luas, secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk.

"Pertama, perbuatan tercela yang diatur KUHP Pidana dan Pidana Khusus, Pertanggungjawaban Pidana dapat dilakukan dengan dua aspek penting, dilakukan dengan prosedur (formil) dan materiil (substantif). Kedua, perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, yang tidak jelas dasar hukumnya. Sehingga luasnya perbuatan tercela dan tidak memberikan para pihak membela diri dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, memiliki implikasi ketidakpastian hukum terhadap warga negara," beber Harli.

Menanggapi permohonan tersebut, hakim konstitusi Suhartoyo menasihati Pemohon untuk mempelajari Putusan MK Nomor 99/PUU-XVI/2018 tentang perbuatan tercela yang berkaitan dengan pemakai narkotika yang terdapat dalam pertimbangan hukumnya. Sementara hakim konstitusi Manahan MP Sitompul meminta Pemohon untuk memuat norma yang diuji.

"Karena biar bagaimana pun kita harus melihat normanya dulu baru kita bisa menguraikan apakah punya kewenangan ataupun kerugian konstitusional," ujar Manahan.

[]sumber: detikcom







Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com

About Us

Berazamcom, merupakan media cyber berkantor pusat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Indonesia. Didirikan oleh kaum muda intelek yang memiliki gagasan, pemikiran dan integritas untuk demokrasi, dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kata berazam dikonotasikan dengan berniat, berkehendak, berkomitmen dan istiqomah dalam bersikap, berperilaku dan berperbuatan. Satu kata antara hati dengan mulut. Antara mulut dengan perilaku. Selengkapnya



Alamat Perusahaan

Alamat Redaksi

Perkantoran Grand Sudirman
Blok B-10 Pekanbaru Riau, Indonesia
  redaksi.berazam@gmail.com
  0761-3230
  www.berazam.com
Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top