Dari Sandiaga Uno Hingga Retno Marsudi: Politikus Penuh Gaya
Jumat 10 Agustus 2018, 15:57 WIB
Menduduki jabatan publik, mereka memperhatikan gaya berbusana. Dulu, Sukarno pun begitu.
Berazam - Desainer Donna Karan, pemilik label fesyen Donna Karan New York, pernah berharap bisa melihat perempuan di Amerika Serikat menduduki posisi presiden. Dia beranggapan bahwa alangkah baiknya bila pemimpin negara bisa memahami rasanya menjadi ibu rumah tangga yang bekerja. Imajinasi itu muncul pada awal tahun 1990an. The Cut mengutip pernyataan feminis Betty Friedan yang menyebut bahwa pada masa itu wanita belum bisa mendapat porsi persaingan yang adil dan sehat dalam dunia politik. Donna Karan tetap menuangkan imajinasinya. Pada tahun 1992, ia meluncurkan kampanye In Women We Trust. Kampanye dibuat untuk promosi produk-produk busana wanita seperti suit pas badan, kemeja oversize, dan terusan ketat dengan punggung terbuka. Iklan menunjukkan seorang model perempuan yang ceritanya adalah seorang presiden. Lokasi pemotretan dibuat serupa dengan ruang kerja presiden. Dalam potret, sang model menunjukkan pose hendak mengutarakan pendapat di tengah para pria. Di foto lain, ia nampak sebagai presiden perempuan yang jadi pusat perhatian. Setahun setelah iklan tersebut tayang, Donna Karan mendapat pesanan dari Hillary Clinton yang waktu itu menjabat sebagai ibu negara. Karan mendesain satu gaun hitam untuk digunakan pada acara makan malam resmi kenegaraan. Baju tersebut membuat Hillary mulai dianggap sebagai sosok fashionable. Pada acara makan malam pertama sebagai ibu negara, ia mengenakan gaun panjang ketat dengan aksen potongan terbuka pada bagian pundak. Setelah malam itu, Hillary tampil dalam majalah fesyen Vogue. Dia dianggap sosok yang mewakili perempuan modern yang berkecimpung di politik sekaligus sadar fesyen. Bayangan Donna Karan terhadap sosok presiden ini ternyata menginspirasi beberapa desainer dan label busana lain. Mereka membuat kampanye serupa yang menyiratkan politikus wanita bisa tampil gaya. Elie Tahari salah satunya. Ia bahkan membayangkan presiden perempuan bisa tampil dalam terusan merah ketat tanpa lengan. Kepada  The Washington Post, Tahari bilang bahwa ia ingin agar wanita muda dan gaya bisa berpikir kalau mereka bisa jadi politikus dan berada di dalam Gedung Putih. “Saya melakukan kampanye ini untuk alasan politis,” tutur Tahari. Robin Givhan, jurnalis The Washington Post menulis bahwa Tahari hendak menyatakan bahwa seorang wanita seharusnya menjadi seorang presiden. Impian Donna Karan dan Tahari untuk punya Presiden Amerika Serikat perempuan boleh jadi masih sebatas harapan. Tapi di daerah lain sudah ada perempuan pemimpin negara yang satu visi dengan mereka. Sosok itu ialah Theresa May, Perdana Menteri Britania Raya yang gemar mengenakan sepatu motif tutul.  Motif itu mudah menimbulkan kesan ‘norak’ bila dikenakan dengan paduan busana yang kurang tepat. May cukup berhasil membuat orang lain tidak sakit mata saat melihat dirinya berjalan dengan stelan blus dan rok span abu abu bermotif garis vertikal. Pada saat ia resmi diumumkan sebagai Perdana Menteri, May mengenakan sepatu leopard yang dipadu dengan terusan hitam serta blazer panjang hitam dengan aksen kuning terang. Saat menyampaikan pidato Brexit pada tahun 2017, May memakai suit tartan hijau karya Vivienne Westwood dan sepatu oxford hitam mengilap dengan detail mutiara pada bagian hak. Pada tahun yang sama, dia tampil sebagai sampul majalah Vogue. May cukup konsisten menekankan gaya penampilan lewat sepatu. Hal itu telah ia lakukan sejak awal tahun 2000an. Ketika mengenakan busana gelap, ia berani memakai sepatu dengan warna mencolok. Saat menghadiri acara pertemuan partai, ia berani mengenakan boots setinggi dengkul bermotif kulit buaya yang mengilap. Ia pernah mengenakan boots suede berwarna merah. Ia berhasil membuat orang percaya bahwa mengenakan loafers mengilap dengan aksen emas di usia senja bisa membuat penampilan lebih menarik. Karakter gaya tak hanya diterapkan oleh politikus perempuan di luar negeri. Di Indonesia ada Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri. Bila May mengutamakan gaya pada pilihan sepatu, Retno berupaya konsisten mengenakan aksesori bros pada atasan yang ia kenakan. Bros itu kerap tersemat persis di bagian bawah leher. Bila diibaratkan, benda itu seperti pengganti dasi pada pria. Tak tanggung-tanggung, Retno kerap memilih ukuran bros yang besar dengan bentuk seperti bunga Hortensia. Ketika ia memadukan bros dengan kemeja kerah tinggi, tak muluk bila seseorang tiba-tiba terbayang sosok Karl Lagerfeld, direktur kreatif Chanel. Karl selalu tampil dengan kemeja kerah tinggi yang dipadu dengan aksesori seperti dasi, bros, atau kalung. Mungkin ada kalanya Retno juga membuka potret koleksi busana karya Lagerfeld. Bentuk blazer berkerah bundar yang ia kenakan nampak serupa dengan ragam desain tweed jacket, produk ikonik Chanel. Boleh jadi ia seperti Coco Chanel, yang menyukai gaya penampilan klasik. Selain Retno, Sri Mulyani mulai nampak berupaya untuk menciptakan kekhasan gaya lewat batik. Untuk acara semi formal, Menteri Keuangan ini kerap mengenakan terusan batik selutut. Pada cara formal, luaran panjang batik atau selendang baik jadi pilihannya. Sekali waktu, motif tenun jadi selingan. Satu politikus yang punya penampilan apik namun tidak punya benang merah dalam bergaya ialah Susi Pudjiasuti. Ia gemar bereksperimen dengan busana-busana yang nampak tercipta untuk kalangan milenial. Saat menjadi narasumber Tirto, ia hadir mengenakan terusan panjang biru milik label fesyen Fendi. Beberapa waktu belakangan, ia beberapa kali terlihat mengenakan kemeja dan terusan berpotongan dekonstruktif. Ia tampil sebagai peragawati dalam peragaan busana desainer kebaya Anne Avantie. Ada kalanya ia tampil dalam baju bermotif polkadot atau tribal. Politikus Pria Juga Bisa Bergaya Gaya penampilan juga jadi perhatian beberapa politikus pria. Piere Trudeau misalnya. Mantan Perdana Menteri Kanada yang juga ayah dari Justin Trudeau ini punya gaya khas menyematkan sekuntum bunga pada jas yang ia kenakan. Pada tahun 1970, ia mencuri perhatian khalayak saat mendatangi Grey Cup. Waktu itu ia memakai setelan jas dan celana kotak-kotak serta jubah hitam dan topi yang bentuknya seperti topi untuk wanita. Kegemaran Piere dalam bergaya menurun ke Justin. Bila sang ayah memilih bunga sebagai karakter gaya, Justin memilih kaus kaki. The New York Times menyebut gaya Justin dengan istilah sock diplomacy. Media tersebut menulis bahwa Justin mengenakan kaus kaki warna warni saat parade LGBT di Kanada. Ketika menghadiri pertemuan dengan para pejabat negara di Kanada, ia mengenakan kaus kaki merah bergambar daun mapel. Ia bahkan menyesuaikan motif kaus kaki untuk hal-hal yang nampak remeh. Pada peringatan International Star Wars Day, ia mengenakan kaus bermotif tokoh R2-D2 dan C-3PO.   Di dalam negeri, Sukarno ialah salah satu politikus yang mementingkan gaya. Ia pernah bilang tentang keinginan untuk tampil necis agar rakyat senang melihatnya. Necis versi Sukarno ialah mengenakan blazer yang bentuknya serupa dengan seragam resmi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Penjahit baju Sukarno terlihat mengadaptasi model jaket tersebut sampai pada detail bentuk kantung. Pada tahun ini, busana serupa bisa kita lihat pada sosok Ridwan Kamil. Pada debat pemilihat calon gubernur beberapa waktu lalu, ia terlihat memakai blazer dengan bentuk serupa dengan Sukarno. Seperti Sukarno, Ridwan paham bahwa busana akan terlihat necis bila dikenakan sesuai dengan bentuk tubuh. Prinsip ini Ridwan terapkan setiap saat. Ia tidak pernah mengenakan busana kedodoran. Di samping itu ia termasuk bisa memahami situasi. Bila menghadiri acara yang bersangkutan dengan tradisi atau daerah kekuasaannya, ia akan mengenakan baju tradisional pria Jawa Barat. Ia jarang terlihat mengenakan busana batik yang kerap dianggap sebagai motif nasional. Ini berbeda dengan Sandi Uno. Ia boleh dikatakan jeli memilih motif batik yang dibuat dari sutera. Kemeja batik lengan panjang jadi pilihan bila ia sedang tidak diwajibkan mengenakan seragam pegawai negeri. Sandi selalu memilih palet warna muda dan terang. Ia kerap terlihat mengenakan batik dengan detail garis yang mengapit bagian kancing. Sekali waktu ia berani mengenakan batik dengan paduan warna merah muda dan ungu. Dan motif itu tetap pantas dikenakan pada tubuhnya. Batik juga jadi pilihan politikus Giring Ganesha. Sebelum jadi politikus, ia dikenal sebagai vokalis band Nidji yang berambut kribo dan bergaya nyentrik. Di atas panggung, ia selalu mengenakan berbagai sneakers menarik. Setelah jadi politikus, gayanya sedikit berubah menjadi lebih resmi. Meski demikian, keahlian Giring dalam memilih busana tetap ada. Ia tahu baju-baju mana yang tetap menonjolkan karakter dan tidak membuatnya terlihat membosankan. Salah satu buktinya ialah saat ia mengenakan setelan jas kotak-kotak dengan dasi hijau.* sumber:tirto.id



Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com

About Us

Berazamcom, merupakan media cyber berkantor pusat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Indonesia. Didirikan oleh kaum muda intelek yang memiliki gagasan, pemikiran dan integritas untuk demokrasi, dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kata berazam dikonotasikan dengan berniat, berkehendak, berkomitmen dan istiqomah dalam bersikap, berperilaku dan berperbuatan. Satu kata antara hati dengan mulut. Antara mulut dengan perilaku. Selengkapnya



Alamat Perusahaan

Alamat Redaksi

Perkantoran Grand Sudirman
Blok B-10 Pekanbaru Riau, Indonesia
  redaksi.berazam@gmail.com
  0761-3230
  www.berazam.com
Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top