Ramai. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kena batu lagi. Kali ini, ia tersandung “gonggongan anjing”. Sebuah tamsil yang oleh publik dianggap tak layak. Tidak pantas. Melukai hati umat Islam, dan dinilai mengandung unsur penistaan agama. Sejumlah elemen masyarakat pun melaporkan Menteri Agama itu ke Polda Riau pada Jum’at (25/2).
Yaqut tersandung gonggongan anjing usai bertemu tokoh-tokoh masyarakat di Balai Serindit, Kediaman Gubernur Riau di Pekanbaru, Rabu (23/2). Di forum itu, ia mensosialisasikan aturan speaker masjid dan mushalla terkait dengan masuknya Ramadhan 1443H. Biasalah. Soal speaker ini, dalam lima tahun terakhir, selalu ada saja kebijakan Pemerintah yang mengundang kontroversi. Beda dengan era pemerintahan Orde Baru, 32 tahun, speaker aman-aman saja tuh. Walau di atur tapi tak pernah mengundang gaduh.
Usai bertemu tokoh. Yaqut dihadang sejumlah wartawan. Pewarta kembali meminta penjelasan sang Menteri terkait masalah pengaturan speaker. Diantara potongan penjelasan Yaqut yang mengundang heboh adalah sebagai berikut: “Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu membunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan, itu rasanya bagaimana. Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di mushalla, masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu”.
Reaksi keras pun muncul. Utamanya dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Ketua LKAAM Fauzi Bahar tegas menyebut, “haram bagi Menteri Agama menginjakkan kaki di Minangkabau”. Begitupun Lembaga Adat Melayu Riau, mulalui surat resmi LAM meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Agama.
Ini kita berandai-andai. Seandainya Gus Yaqut tidak mentamsilkan suara speaker masjid dengan gonggongan anjing, agaknya reaksi masyarakat terhadap pernyataan Yaqut tak akan sekencang ini. Sebab diksi ‘gonggongan anjing’, dapat menimbulkan ragam persepsi. Tapi apa hendak dikata, ibarat peribahasa, “nasi telah menjadi bubur”. Gus Yaqut alpa, bahwa di negeri yang mayoritas beragama Islam ini berlaku ungkapan, “adat bersendi syarak, syarat bersendi kitabullah”.
Dalam perspektif Melayu, Tenas Effendy (Tunjuk Ajar Melayu: 2004) mengurai bahwa di dalam ungkapan tersebut sangat kental terjadi persebatian antara adat dengan Islam. Adat, seperti ditulis Tenas, ialah syarak semata:
“adat semata Qur’an dan sunnah
adat sebenar adat adat ialah Kitabullah dan sunnah Nabi
syarak mengata, adat memakai.
ya kata syarak, benar kata adat
adat tumbuh dari syarak, syarak tumbuh dari kitabullah
berdiri adat karena syarak”.
Tingkat persebatian orang-orang Melayu dan Islam sangat tinggi, dan itu dapat disimak, misalnya, dari butir tunjuk ajar yang mendeskripsikan bagaimana ketaqwaan orang-orang Melayu menjalankan perintah agama. Antara lain:
“apa tanda Melayu jati,
bersama Islam hidup dan mati
apa tanda Melayu jati
Islam melekat di dalam hati
apa tanda Melayu bertuah
dengan Islam ia bersebati
apa tanda Melayu bertuah
memeluk Islam tiada menyalah
Ungkapan-ungkapan tersebut sekaligus mencerminkan perpaduan antara Melayu dengan Islam, sebuah agama yang dijadikan panduan, anutan dan pegangan hidup. Tak hanya Melayu, negeri-negeri lain seperti Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan hingga ke Aceh, juga menganut filosofi serupa: bagaimana kentalnya nilai-nilai keislaman dalam kehidupan para pemeluknya. Saya sempat bertanya kepada salah seorang tokoh Melayu yang melaporkan Gus Yaqut ke Polda, mengapa Anda melaporkan Pak Menteri ke polisi? Ia menjawab, “Paling tidak saya sudah bisa menjawab pertanyaan Malaikat, apa pertolongan Anda terhadap agama Allah ketika Islam dinista?”
Agaknya. Jawaban ringan dan spontan itu pula yang menjadi salah satu pendorong reaksi keras umat terhadap Gus Yaqut yang keliru memilih narasi. Mengapa musti memilih diksi gonggongan anjing? Bukankah masih banyak tamsil-tamsil lain yang lebih cerdas dan berkualitas. Inilah yang disebut accident narasi.
Pak Menteri seperti tak belajar dari case yang sudah-sudah. Beberapa pernyataannya terdahulu juga mengundang aksi protes. Misalnya, ketika ia mengatakan akan melindungi Kaum Syiah dan Ahmadiyah, mengucapkan Selamat Hari Raya ke Komunitas Baha'i, atau ucapannya yang mengusulkan doa semua agama saat Rakernas Kementerian Agama, semua kebijakan tersebut telah menyulut kemarahan umat.
Kini, ia mentamsilkan pula suara azan dengan gonggongan anjing. Walau, dalam pandangan saya, Gus Yaqut tidak sedang membandingkan antara suara azan dengan suara gonggongan anjing, setidaknya pilihan atas diksi itu mengindikasikan rendahnya kualitas intelektual seorang Menteri. Tak berfikir dahulu dampak negatif yang bakal terjadi. Lagi-lagi Pak Menteri tersandung di batu yang sama, batu yang selama ia menjadi Menteri: dihujat karena ucapan-ucapannya.
Orangtua-tua kami di Tanah Melayu mengajarkan:
“kalau memakai tak sesuai,
badan terjual kepala tergadai
kalau makan tidak sepadan,
mulut tersengkak badan pun bentan
kalau memakai yang tak senonoh,
badan rusak hidup bergaduh
kalau memakai yang tidak patutt,
di darat sesat, di laut hanyut
kalau memakai yang tidak layak,
badan binasa akhlak pun rusak
kalau memakai yang menyalah,
dunia akhirat takkan semenggah
kalau memakai yang tak serasi,
niat tak sampai hidup pun lesi.
Pak Menteri, Jangan bikin gaduh lagi yaah....!!!
[]Penulis: Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau