Senin, 29 April 2024

Breaking News

  • Bupati Karimun Hadiri Halal Bi Halal Sekaligus Menabalkan Ketum Iwkk Pekanbaru Terpilih   ●   
  • Klaim Amerika Serikat: Temukan Bukti China Intervensi Pilpres 2024?   ●   
  • APTISI Riau Bahas Proker 2024 Dalam Upaya Kontribusi Pada Pendidikan Tinggi di Riau   ●   
  • Permainan Politik Edy Natar Nasution dan Sinyal Dukungan Partai   ●   
  • CERI Pertanyakan Hakim Tipikor Jakarta Yang Tidak Menghadirkan Nicke dan Dwi Sucipto Dalam Sidang Kasus Pengadaan LNG Pertamina Dengan Corpus Criti Liquefaction   ●   
''Quo Vadis Mahkamah Konstitusi''
Sabtu 21 Oktober 2023, 00:34 WIB

''Quo Vadis Mahkamah Konstitusi'' adalah kalimat akhir dissenting opinion Hakim Mahkamah Konstitusi Prof Saldi Isra. Kalimat itu dibacakan dalam sidang MK Pasal 169 huruf q Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden pada 16 Oktober lalu.

Gugatan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam amar putusan yang dibaca Hakim Anwar Usman, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan mengubah norma Pasal 169 huruf q menjadi: "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Adapun norma asal dari huruf q yang menjadi pokok gugatan dalam judicial review, berbunyi: "berusia paling rendah 40 tahun".

Kontroversi dan hujatan terhadap MK pun bermunculan: dari banyak akademisi, praktisi hukum, politisi dan juga dari masyarakat. Hujatan itu dialamatkan kepada MK lantaran menambah norma yang bukan menjadi kewenangan mahkamah. Sebagai lembaga pengawal konstitusi, MK hanya berwenang menguji materi undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Soal norma dalam sebuah undang-undang, baik pembuatan norma baru maupun norma tambahan, bukan menjadi kewenangan MK. Akan tetapi wewenang pembentuk undang-undang [DPR bersama Presiden]. Ia bersifat open legal policy.

Suara lantang mengkritik putusan MK datang juga dari Hakim Saldi Isra.  Menurutnya, putusan itu terkesan aneh karena berubah dalam waktu dekat. Sejak jadi Hakim Konstitusi pada April 2017, Saldi mengaku baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa.  Jauh dari batas penalaran yang wajar. Bahasa Saldi: ''Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelabat.

Hiruk pikuk soal putusan MK ini sudah santer jauh sebelum 16 Oktober. Dan, dikait-kaitkan dengan rencana Putera ‘Mahkota’ Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon wakil presiden dalam usia 36 tahun. Sesuai  Pasal 169 UU Pemilu yang mengatur persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, usia Gibran jelas tidak memenuhi syarat undang-undang. Maka, oleh sekelompok orang diajukanlah judicial review atas Pasal 169 huruf q itu ke MK.  Di samping Almas Tsaqibbirru Re A, gugatan serupa dimohonkan pula oleh Partai Solidaritas Indonesia, Partai Garuda dan Emil Dardak Cs.

Kajian atas Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, putusan MK itu mengandung dua cacat hukum: Cacat Formil dan Cacat Materiil. Formil setidaknya terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim)  yang terkesan samar-samar. Terdapat empat hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), dan dua hakim yang menyatakan concurring opinion (alasan berbeda). Cacat meteriil bersinggungan dengan amar putusan yang menambah norma baru pada Pasala 169 huruf q yang berbunyi: atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Ahli Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra mensinyalir telah terjadi penyelundupan hukum dalam putusan itu.

Lepas dari putusan yang mengundang kontroversi. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Harus dilaksanakan oleh KPU. Sesuai Pasal 10 UU 12 Tahun 2011, Komisi Pemilihan Umum musti segera bertemu DPR atau Presiden menindak-lanjuti putusan MK. Bila perintah undang-undang ini tidak dilaksanakan KPU, pendaftaran Gibran di KPU bersama Capres Prabowo Subianto berpotensi cacat prosedur. Dapat berimplikasi hukum terhadap pasangan ini sebagai peserta pemilu.

‘’Quo vadis’’  adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang secara harfiah mengandung arti: ‘’Ke mana engkau pergi?’’ Quo vadis Mahkamah Konstitusi? di akhir dissenting opinion sekaligus menjadi pertanyaan yang mengherankan dari Hakim Saldi Isra akan nasib MK yang sudah tidak kredibel. Supremacy of law yang menjadi payung mahkamah dicawe-cawe oleh politik. Utamanya oleh Ketua Anwar Usman.

Adik Ipar Presiden Jokowi ini sejatinya mundur dari hakim pemeriksa perkara batas usia lantaran kakinya berada dua ladang yang tidak boleh bertemu.  Satu sebagai keluarga Jokowi yang memiliki kepentingan dengan batas usia perkara aquo, satu lain lagi sebagai hakim mahkamah yang memeriksa dan memutus perkara. Sangat jelas bahwa terjadi conflict of interest atas kedudukan Anwar Usman. Kekuatiran munculnya konflik ini kemudian mengubah nama Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga.

Quo Vadis Mahkamah Konstitusi? Mau dibawa kemana Mahkamah Konstitusi? Pertanyaan itu sulit dijawab karena borok-borok MK sudah dibuka habis oleh Hakim Saldi Isra dalam dissenting opinionnya. Sehingga sulit mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK sebagai lembaga pengawal konstitusi. Mungkin bila hakim-hakim itu mundur sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan yuridis, public sedikit agak lega. Sayangnya hingga kini belum tampak tanda-tanda ke arah itu. Mudah-mudahan saja Majelis Kehormatan MK segera mengambil sikap tegas: memeriksa dan memberhentikan para hakim  yang bermain politik dalam putusan majelis, yang dianggap tidak layak lagi menjadi Yang Mulia di Mahkamah Konstitusi.

[]Syafriadi: Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru




Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com


Komentar Anda
Indeks
Kamis 02 November 2023, 17:23 WIB
Impeachment Jokowi
Sabtu 21 Oktober 2023, 00:34 WIB
''Quo Vadis Mahkamah Konstitusi''
Jumat 13 Oktober 2023, 00:45 WIB
BRK Syariah Mencari Dirut, Siapa ‘Jagoan’ Syamsuar?
Sabtu 23 September 2023, 10:31 WIB
Pilpres 2024: Dua atau Tiga Pasang?
Selasa 05 September 2023, 23:50 WIB
Nasib Demokrat
Sabtu 02 April 2022, 19:42 WIB
Marhaban ya Ramadhan
Kamis 10 Maret 2022, 16:34 WIB
Mutiara dari Pesisir
Sabtu 26 Februari 2022, 16:37 WIB
Tersandung "Gonggongan Anjing"
Sabtu 19 Februari 2022, 09:39 WIB
Catatan Tiga Tahun Syamsuar - Edi Natar
Kamis 10 Februari 2022, 06:57 WIB
Menata Kembali Industri Pers


About Us

Berazamcom, merupakan media cyber berkantor pusat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Indonesia. Didirikan oleh kaum muda intelek yang memiliki gagasan, pemikiran dan integritas untuk demokrasi, dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kata berazam dikonotasikan dengan berniat, berkehendak, berkomitmen dan istiqomah dalam bersikap, berperilaku dan berperbuatan. Satu kata antara hati dengan mulut. Antara mulut dengan perilaku. Selengkapnya



Alamat Perusahaan

Alamat Redaksi

Perkantoran Grand Sudirman
Blok B-10 Pekanbaru Riau, Indonesia
  redaksi.berazam@gmail.com
  0761-3230
  www.berazam.com
Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top