Impeachment. Sudah lama kata itu tak menjadi perbincangan harian. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi laluan kepada Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto, kata impeachment bak menggelinding bagai bola salju. Bertiup kencang dari mulut-mulut pengamat dan politisi. Hingga sekarang, impeachment kalau kita simak podcast-podcast para youtuber, ending wawancara selalu berujung ke impeachment.
Siapa yang di-impeach? Siapa lagi kalau bukan Presiden Jokowi. Ia dinilai membangun nepostime setelah “memaksa” kan kehendak memasangkan Prabowo-Gibran dalam Pemilihan Umum Presiden 2024. Nepotisme adalah sesuatu yang ditabukan di era demokratisasi, dan menjadi amanat reformasi melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelengga Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juga Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Gong impeach makin ditabuh kencang setelah hubungan Jokowi dengan Megawati Soekarno Puteri dan PDI-P retak. Gara-gara duet Prabowo-Gibran. Suara-suara dari politisi PDI-P mencerminkan kondisi internal partai berlambang banteng itu sedang tidak baik. Bahkan, Masinton Pasaribu, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, dengan lantang mengusulkan hak angket di paripurna dewan pada Selasa 31 Oktober 2023.
Tapi usulan angket sepertinya kandas. Karena usulan itu dianggap kabur. Di luar gedung dewan, justru yang berkembang usulan angket atas putusan Mahkamah Konstitusi. Bukan untuk penyelenggaraan negara berbasis nepotisme. MK merupakan lembaga pengawal konstitusi yang setara dengan DPR dan berada di jalur yudikatif. Jadi, tak bisa diangket. Angket hanya dialamatkan kepada eksekutif. Namun sejumlah ahli hukum tata negara ada yang berpendapat beda. Putusan MK boleh diangket karena terminology pemerintah harus ditafsirkan secara luas. Yakni tiga poros kekuasaan dalam trias politika: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Impeachment oleh DPR biasanya berujung kepada berhentinya presiden dari jabatannya. Ini dahulu yang terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid yang dilengserkan DPR pada Juli 2001. Menurut Ahli Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie, impeach tidak musti berakhir dengan pemberhentian presiden. Tetapi lebih kepada proses berupa tuduhan atau dakwaan. Jimly mencontohkan, impeachment di Amerika terhadap Presiden Andrew Johson, Richard Nixon dan William Clinton yang tidak turun dari kekuasaannya. Di sejumlah negara lain, impeachment memang akhirnya berujung ke pemberhentian presiden. Salah satunya menimpa Presiden Lithuania Rolandas Paskah tahun 2004.
Nah, kembali ke alur impeachment Jokowi. Deny Indrayana, Guru Besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, termasuk akademisi yang gencar mengkampanyekan impeachment. Dalam beberapa kali podcast Deny menyebut Jokowi dapat di-impeach karena sudah cawe-cawe dalam urusan pemilu. Cawe-cawe kita maknai dengan intervensi atau ikut campur. Benarkah?
Secara hukum sulit membuktikan kecuali pernyataan Jokowi sendiri yang menyebut bahwa dia akan cawe-cawe dalam pemilu. Lalu cawe-cawe ini dimaknai dengan tafsir ganda. Ada yang menyebut, Jokowi cawe-cawe untuk kepentingan bangsa dan negara, menjaga pelaksanaan pemilu agar berjalan demokratis. Aman dan lancar. Ada pula yang menafsirkan negatif, cawe-cawe nya itu dalam soal dukung mendukung. Termasuk menentukan jagoan yang diusung partai politik. Tafsir negatif ini dikaitkan pula dengan jegal menjegal Anis Rasyid Baswedan selama proses pencalonan. Mulai dari kasus Formula E yang diendus KPK sampai ke Partai Nasdem yang pertama kali mendeklarasikan Anis sebagai calon presiden. Anis dan Nasdem diombang-ambingkan oleh dinamika politik yang memperburuk citra politiknya.
Prahara berlalu. Kapal politik Anis akhirnya berlayar bersama Muhaimin Iskandar. Nasdem, PKS dan PKB pagi-pagi segera mendaftarkan jagoan mereka ke Komisi Pemilihan Umum. Tapi air laut belum tenang. Riaknya mulai terasa pada detik-detik jelang Mahkamah Konstitusi membaca putusan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden yang dimohonkan oleh seorang mahasiswa dari Solo. Ia mengajukan permohonan judicial review atas Pasal 169 huruf q Undang Undang Pemilu terhadap UUD NRI 1945. Simpulan dari putusan MK: Gibran lolos. Ia pun segera daftarkan sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto, dan diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, Gelora, Garuda dan PSI.
Di sini problem muncul. Ada cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK. Asumsi ini cukup beralasan karena Ketua Hakim Anwar Usman yang membaca putusan itu adalah paman Gibran. Dia membentangkan karpet merah untuk Gibran yang notabene nya adalah ponakan sendiri.
Putusan MK itu menjadi antiklimaks dari ambisi politik Jokowi setelah gagal dalam wacana tiga periode, atau kandas pada isu perpanjangan jabatan presiden. Ambisi politik ini digambarkan seperti gunung es dimana putusan MK itu berada pada posisi puncak setelah Jokowi gagal bertaktik dan berstrategi politik. Rangkaian peristiwa ini [cawe-cawe politik, dan nepotisme] rasanya sudah cukup alas bagi DPR meng-impeachment Jokowi dengan hak angket yang diusulkan Masinton. Sepandai-pandai tupai melompat sekali waktu jatuh juga.*
Syafriadi: Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau