Sabtu, 9 Agustus 2025

Breaking News

  • Kasus Hondro Memanas, Massa Geruduk Polda Riau, Polisi Buka Suara   ●   
  • Menteri Kebudayaan Fadli Zon Secara Resmi Buka Pekan Budaya Melayu Serumpun   ●   
  • Apel Peringatan Hari Jadi Provinsi Riau ke-68, Gubernur Abdul Wahid: Mari Jaga Marwah Melayu dan Majukan Daerah   ●   
  • PJS Berduka, Waka DPD PJS Babel Diduga Dibunuh, Jasad Dibuang ke Sumur Kebun   ●   
  • Pasca Munas II, PJS Perkuat Konsolidasi Umumkan Kepengurusan Baru   ●   
China Harus Tanggungjawab
Perbudakan Modern ABK RI di Kapal Cina: Upah Murah & HAM Dilanggar
Sabtu 09 Mei 2020, 08:55 WIB
Pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan Indonesia rentan mengalami perbudakan modern.
berazamcom-Empat belas anak buah kapal (ABK) berbendera Cina akhirnya sampai Indonesia, Jumat. Sebelumnya 29 ABK Indonesia telah lebih dahulu kembali ke Indonesia dari Korea Selatan. Mereka telah bekerja di bawah perusahaan bersama Tiongkok yang punya beragam kapal sejak tahun lalu. Di antaranya Long Xing 629, tempat ABK Indonesia mengalami dugaan perbudakan modern dan menyaksikan rekannya meninggal dan jasadnya dilarung ke laut. Berita ABK Indonesia memantik simpati publik sejak pekan ini. Pemerintah Indonesia 46 ABK yang bekerja di kapal Cina. Kronologi Kematian Empat ABK Environmental Justice Foundation (EJF), yayasan yang fokus isu keadilan lingkungan, dan pengacara publik Advocates for Public Interest Law (APIL) memaparkan kronologi meninggalkan empat anak buah kapal milik perusahaan Cina. Mereka mengaku telah dihubungi oleh awak kapal yang telah dievakuasi di Korea Selatan.  Menurut EJF, kematian pertama ABK asal Indonesia terjadi pada 21 Desember tahun lalu di Kapal Long Xing 629. Seorang ABK lainnya meninggal beberapa hari kemudian setelah mereka dipindahkan ke Long Xing 802, kapal dari perusahaan yang sama: Dalian Ocean Fishing Co Ltd beralamat di Distrik Zhongshan, Dalian, kota pelabuhan besar di Provinsi Liaoning, Cina. Setelah dua orang meninggal, seluruh ABK dipindahkan ke dua kapal lain yang masih satu perusahaan untuk transit ke Busan Korsel. Dalam perjalanan, satu ABK meninggal lagi di Kapal Tian Yu 8, akhir Maret. Pada saat itu lah, seorang awak kapal mengabadikan pelarungan jasad temannya ke laut. Saat sampai di Busan pada April, ia melaporkan ke aparat setempat. Belakangan videonya viral setelah media Korea Selatan menyiarkannya. Nahas, seorang ABK meninggal lagi setelah sampai di Korsel pada 27 April lalu. Ia meninggal saat karantina sebelum di pesisir saat akan masuk Busan. MBC, stasiun televisi nasional Korea Selatan, melaporkan tiga nama ABK yang meninggal yakni Ari, 24 tahun; Alfatah, 19; dan Sefri, 24. Jasad ketiganya telah dilarung.  ABK yang melaporkan kasus tersebut menyebut, penyebab meninggalnya rekan mereka diawali dengan bengkak pada kaki sehingga mati rasa, lalu badan bengkak, lalu terjadi sesak nafas. Ada aturan yang membenarkan pelarungan jasad ke laut, namun masalah besar yang melinkupinya tak sepenuhnya terungkap. Data Western & Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC), organisasi pelestari ikan bermigrasi tinggi seperti Tuna, memberikan data pemilik kapal Cina. Tiga dari empat kapal yang mengangkut ABK Indonesia teregistrasi. Mereka satu perusahaan hanya berbeda kepemilikan.  Kapal Long Xing 629 terdaftar atas nama Zhou Feng; Long Xing 802 dimiliki Huang Zhenbao; dan Tian Yu 8 dipunyai Kanghongcai. Ketiganya terdaftar sebagai kapal penangkap ikan tuna. Hanya saja dalam praktiknya seperti dilaporkan MBC, kapal tersebut justru menangkap ikan hiu yang diduga diambang kepunahan. Mereka memotong sirip ikan hiu dan diletakkan dalam wadah berukuran setidaknya 45 kilogram lalu dijual ke kapal lain di atas laut (transhipment). Perburuan sirip hiu diduga membuat kapal Cina takut terkena masalah hukum sehingga enggan merapat ke negara terdekat untuk mengobati ABK Indonesia yang sakit dan akhirnya meninggal, menurut laporan MBC. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengklaim proses pelarungan jenazah tiga ABK telah mendapat persetujuan keluarga. Kapan Tian Yu 8 disebut telah memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Retno mengklaim Indonesia telah memperoleh komitmen dari Tiongkok untuk menyelidiki kasus tersebut terhadap perusahaan pemilik kapal. “Ke depan, melalui pembenahan sektor hulu, khususnya dengan penyusunan regulasi proses recruitment dan penempatan awak kapal ikan (long line), maka perlindungan dan hak awak kapal akan menjadi lebih baik,” kata Retno mencuit di Twitter.  Padahal menurut investigasi MBC, ABK Indonesia menandatangani kontrak berisi klausul protokol penanganan ketika mereka meninggal: dikremasi dan abu dikirim ke keluarga atau dimakamkan di negara terdekat. Tapi hal itu tak pernah dilakukan kapten kapal. Para ABK Indonesia diduga menerima upah murah. Dalam perjanjian mereka menerima USD 300 per bulan. Kenyataannya dalam sebulan mereka menerima USD 42 atau kurang dari USD 1 per hari. Upah yang harus diterima, berkurang drastis karena dipotong untuk biaya rekrutmen dan uang jaminan. Kehidupan ABK terkungkung, karena paspor mereka disita oleh kapten kapal. Dalam menjalani kehidupan di kapal, konsumsi air dari penyulingan air laut yang memicu gangguan kesehatan bagi ABK Indonesia. Pemerintah Indonesia Harus Usut Pelanggaran HAM Pekerja migran sektor kelautan sejak lama rentan menjadi budak modern. Menurut catatan Migrant Care, organisasi sipil Indonesia yang fokus pekerja migran, kerawanan sektor kelautan dan perikanan—terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan—menjadikan mereka terjerembab praktik perbudakan modern. Pada 2014-2016, kondisi ABK Indonesia yang terpuruk di perbudakan modern merupakan yang terburuk berdasar pemeringkatan Global Slaveri Index. Kondisinya tak berubah hingga saat ini. Terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan di luar negeri berada dalam perangkap perbudakan modern.  Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menyebut, permudakan modern di kapal Cina baru-baru ini menunjukkan tak ada perbaikan strategis dan memitigasi kerentanan pekerja migran sektor kelautan Indonesia. “Sudah ada pernyataan normatif dari pemerintah, namun belum ada yang menjamin pemenuhan hak-hak ABK tersebut,” kata Susilo seperti dilansir dari Tirto, kemarin. Dalam UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran di sektor kelautan dan perikanan, namun menurut Susilo “hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit.” Ia menuntut agar Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran mengambil pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku. *** []sumber:tirto.id



Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: [email protected]


Komentar Anda
Berita Terkait
 
 


Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top