Jakarta, berazamcom - Pekik merdeka di tahun empat lima, telah melambungkan harga diri bangsa ini, untuk hidup berdampingan dan sejajar dengan bangsa lain di dunia. Romantika pekik merdeka, kini tersapu awan kelabu ketidak adilan, karena keadilan tinggal sepenggal kata tanpa makna dan tak pernah dapat diraih oleh rakyat kecil, sekalipun sejarah perjuangan bangsa ini menoreh dengan tinta emas, bahwa kemerdekaan direbut dengan darah rakyat, tanpa sedikitpun mencatat peran oligarki, konglomerat maupun penegak hukum.
"Mengapa hari ini rakyat pemberi sumbangsih terbesar terhadap berdirinya Indonesia sebagai negara berdaulat, terus disisihkan secara politik, ekonomi dan hukum. Kita tidak perlu lagi berbasa-basi atau takut untuk menuding biang kerok dari carut marutnya negara ini adalah para penyelenggara negara yang berprilaku bagai monster terhadap rakyatnya," ungkap Pemerhati Intelijen Sri Radjasa MBA, Sabtu (20/7/2024).
Menurut Radjasa, semangat nasionalisme dan gotong royong serta kesetiakawanan sosial, telah tergerus oleh prilaku hedonisme dan ultra capitalisme dari para penyelenggara negara. Mereka tak sungkan untuk mensiasati undang-undang, demi pemenuhan nafsu kekuasaan. Bahkan mereka tak perduli, akibat perbuatannya akan mengakibatkan Indonesia suatu masa tinggal sejarah.
"Mari kita jujur mencermati prestasi para penyelenggara negara pada periode kedua pemerintahan Jokowi, antara lain dalam meningkatkan indek demokrasi, berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023," ungkap Radjasa.
Bahkan, lanjutnya, menurut Economist Intelligence Unit (EUI), indeks demokrasi Indonesia masih tergolong Flawed Democracy (cacat), jika ditelaah berdasarkan lima indikator besar, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.
"Selanjutnya dalam indeks penegakan HAM, Setara Institute menyusun Indeks HAM dengan mengacu kepada UU No. 12 Tahun 2005 (Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik), serta UU No.11 Tahun 2005 (Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya), menilai kinerja pemerintah dalam melaksanakan amanat UU atau kovenan tersebut berdasarkan laporan lembaga negara, laporan organisasi masyarakat, riset lembaga penelitian, dan referensi media, pada 2023 indeks penegakan HAM Indonesia mendapat skor Indeks HAM 3,2, turun dibanding tahun lalu yang skornya 3,3," beber Radjasa.
Dikatakan Radjasa, penilaian itu dirumuskan dengan skor berskala 1-7. Skor 1 menggambarkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM paling buruk, sedangkan skor 7 paling baik.
"Di bidang pemberantasan korupsi, Transparency International meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi 2023 atau Corruption Perception Index (CPI). Pada tahun 2019 CPI Indonesia dengan skor 40 dan kemudian terjun bebas menjadi 34 pada tahun 2022 lalu, kemudian mengalami stagnan pada tahun 2023," kata Radjasa.
Menurut Radjasa, demokrasi Indonesia sedang berjalan mundur secara cepat. Padahal kita amat paham, bahwa mundurnya upaya konkrit pemberantasan korupsi, mustahil penegakan demokrasi dan HAM dapat terwujud.
"Kemudian kita amati potret Polri hari ini, Index Mundi sebuah portal data yang berbasis di North Carolina, Amerika Serikat, menyajikan data berdasarkan Perceptions Index, menunjukkan Polri menduduki peringkat teratas polisi paling korupsi di Asia Tenggara, sementara untuk peringkat dunia Polri menduduki posisi ke 18," ungkap Radjasa.
Fenomena menurunnya secara masif indeks sektor-sektor yang menjadi pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan rakyat, kata Radjasa, menjadi suatu sinyalemen para penyelenggara negara telah ingkar terhadap konstitusi negara secara sistemik.
"Alih-alih melayani rakyat untuk memperoleh akses terhadap kekayaan alam, sebagai komitmen negara terhadap rakyat dalam mengisi kemerdekaan, ternyata mereka lebih nyaman menjadi antek asing, semata demi mengejar rente dari menjual kekayaan alam negara ini," ungkap Radjasa.
Radjasa mengatakan, harapan rakyat tidak muluk-muluk, semoga Presiden terpilih punya nyali untuk 'bersih-bersih' di pekarangan rumahnya sendiri.(*)