
Oleh: Zulfikri Toguan
Malaka, berazamcom - Malam di Malaka, dan semangkuk keakraban di Seri Sahabat.
Ketika langit mulai gelap dan lampu kota menyalakan wajah malam, sebagian besar sudut Malaka mulai tenggelam dalam kesibukan yang melambat. Tapi ada satu tempat yang justru semakin hidup ketika malam datang—Restoran Seri Sahabat, sebuah ruang sederhana yang menawarkan lebih dari sekadar makanan.
Berlokasi di 1-15, Jalan Cheng Perdana 1/1a, Taman Cheng Perdana, Malaka, Malaysia, restoran ini buka 24 jam dan menyajikan aneka hidangan khas Melayu yang menggoda lidah—dari nasi lemak panas dengan sambal yang dalam, mi goreng mamak yang renyah sekaligus gurih, hingga ikan bakar yang dihidangkan langsung dari pemanggang bara dengan cocolan sambal kecap yang pedas-manis.
Di bawah langit terbuka, meja plastik dan kursi hitam berlubang-lubang tersusun rapat, tanpa dekorasi mewah atau alunan musik lembut. Namun justru dari kesederhanaan itulah pesonanya muncul. Aroma makanan bercampur dengan suara obrolan akrab dan denting gelas teh tarik menjadi penanda bahwa tempat ini adalah titik temu—antara lapar, lelah, dan rindu akan suasana yang akrab.
Malam itu, Syafriadi, jurnalis dan akademisi dari Pekanbaru, duduk di antara hiruk pikuk hangat yang diciptakan bukan oleh pengeras suara, tapi oleh percakapan dan tawa yang tulus. Ia tak datang sendiri. Bersama belasan wartawan dari berbagai media di Pekanbaru, ia hadir dalam kegiatan family gathering yang diselenggarakan oleh Biro Humas Universitas Islam Riau (UIR). Tak tanggung-tanggung, Rektor UIR, Prof. Syafrinaldi, turut hadir dan larut dalam suasana yang akrab dan bersahabat itu.
Tak ada sekat, tak ada formalitas. Meja makan menjadi ruang demokratis tempat semua berkumpul, bercerita, berbagi canda. Angin malam Malaka menyapu lembut wajah-wajah lelah yang kini mulai mengendur, menikmati kebersamaan dalam suasana yang tak dibentuk oleh protokol, tapi oleh rasa yang lahir dari pertemuan yang jarang terjadi.
“Ini pengalaman yang menyenangkan. Beberapa kali saya pernah ke Malaka, tapi menikmati kebersamaan dengan kawan-kawan di restoran ini, ini adalah pengalaman saya pertama. Sungguh menyenangkan. Hembusan angin malam, membuat suasana canda bercanda menjadi asik,” tutur Syafriadi sambil tersenyum.
Restoran Sahabat mungkin tak tercantum di daftar tempat kuliner bergengsi, tapi malam itu, ia menjadi ruang yang melampaui fungsinya. Ia menjelma menjadi simpul silaturrahmi. Tempat di mana status sosial larut dalam gurihnya lauk dan rasa yang ditawarkan makanan rakyat. Di mana pertemanan tumbuh dari obrolan-obrolan yang awalnya sekadar basa-basi, tapi kemudian menjelma menjadi tawa yang tak ingin cepat selesai.
Suasana malam di Seri Sahabat Malaka
Tapi seperti malam-malam lainnya, waktu selalu punya cara sendiri untuk berpamitan.
Tak terasa waktu cepat berlalu. Obrolan pun mulai melambat. Wajah-wajah yang semula riang mulai meredup dalam rasa kantuk yang menyeruak pelan. Di antara tawa yang tersisa dan gelas-gelas teh tarik yang tinggal setengah, suara ramah Dr. Harry Setiawan, Kepala Biro Humas UIR, perlahan menyapa, menandai akhir dari malam yang menghangatkan.
“Wankawan, waktu sudah melewati batas. Esok kita harus bangun pagi, kemudian melanjutkan family gathering ke tempat lain. Mari kita istirahat ke hotel,” ujar Pak Karo, mengajak seluruh rombongan kembali ke penginapan.
Ajakan itu tak serta-merta memutus hangatnya kebersamaan malam. Justru menjadi penutup yang tenang—seperti tanda baca yang melengkapi paragraf panjang dari kisah yang belum ingin diakhiri. Para jurnalis berdiri satu per satu, bersalaman, tersenyum, dan berjalan perlahan menuju kendaraan. Malam memang harus disudahi, tapi kenangan yang lahir dari meja makan dan hembusan angin Malaka itu akan terus tinggal, bahkan ketika pagi datang dengan agenda yang baru.
Gedung-gedung tinggi dan lampu jalan menyala lembut di kejauhan, seakan menjadi saksi bisu bahwa di tengah kota yang bergerak cepat, masih ada ruang bagi manusia untuk kembali menjadi manusia—yang butuh disapa, didengar, dan tertawa bersama.
Dan mungkin, di situlah letak makna sebenarnya dari nama “Sahabat”. Ia bukan hanya papan nama restoran, tapi semacam pengingat bahwa bahkan di zaman serba digital ini, tempat-tempat seperti ini tetap penting—karena kehangatan, seperti halnya rasa lapar, adalah kebutuhan yang nyata.*