
Pelalawan, berazamcom - Momentum Hari Anak Nasional 2025 yang seharusnya menjadi simbol perlindungan dan kasih sayang terhadap anak, justru tercoreng oleh peristiwa memilukan yang terjadi di SMP Negeri 3 Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Seorang siswa baru dilaporkan mengalami tekanan psikologis setelah diancam akan dikeluarkan dari sekolah hanya karena keterlambatan pembayaran uang seragam dan transportasi sebesar Rp1.870.000 oleh orang tuanya.
Peristiwa ini sontak menjadi perbincangan hangat di media sosial sejak sore tanggal 22 Juli 2025. Beredar di beberapa media. Sorotan publik pun semakin tajam karena bertepatan dengan hari ini peringatan Hari Anak Nasional, yang sejatinya menjadi ajang refleksi komitmen bangsa terhadap pemenuhan hak anak.
LBH PSHI: Ancaman Adalah Kekerasan Psikis
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pemuda Sahabat Hukum Indonesia (LBH PSHI), Bayu Saputra, S.H., M.H., mengecam keras tindakan oknum guru tersebut. Menurutnya, intimidasi terhadap siswa karena alasan ekonomi adalah bentuk kekerasan psikis yang tidak dapat ditoleransi dalam dunia pendidikan.
“Hari Anak Nasional seharusnya memperkuat komitmen kita semua dalam menjamin hak anak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Ancaman karena tunggakan adalah kekerasan psikis,” tegas Bayu, Selasa (23/07/2025).
Bayu mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Pelalawan untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum guru yang bersangkutan. LBH PSHI juga menyatakan siap memberikan pendampingan hukum bagi korban dan keluarganya, bila ditemukan pelanggaran etik maupun hukum.
Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan verbal dan psikis di lingkungan pendidikan.
“Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Ini mencoreng semangat Hari Anak Nasional yang seharusnya diisi dengan kasih sayang dan kepedulian,” tambah Bayu.
Aktivis Pendidikan: Guru Bukan Pedagang Seragam
Sorotan serupa juga datang dari aktivis pendidikan dan mahasiswa Pelalawan, Tauhid Marifatullah, S.IP., M.IP., yang selama ini dikenal konsisten memperjuangkan keadilan dalam sistem pendidikan.
“Ini mencederai nilai Hari Anak Nasional. Pendidikan itu membebaskan, bukan menindas apalagi anak dari keluarga kurang mampu,” tegas Tauhid kepada Tim media berazam.com , Selasa (23/07/2025).
Tauhid menegaskan bahwa pendidikan adalah hak konstitusional yang tidak boleh dihambat oleh faktor ekonomi. Menurutnya, tindakan mengancam siswa hanya karena keterlambatan administrasi bertentangan dengan prinsip sekolah negeri sebagai lembaga pelayanan publik, bukan tempat transaksi seragam atau jasa transportasi.
Ia juga menyerukan agar praktik-praktik pungutan liar yang sering dibungkus dengan dalih kewajiban segera dihapuskan dari dunia pendidikan.
“Guru adalah pelayan ilmu, bukan pedagang seragam. Jika ditemukan unsur pelanggaran hukum atau maladministrasi, kami siap melaporkan ke Ombudsman dan Komnas Perlindungan Anak,” tandasnya.
Mediasi Dinas Pendidikan dan Reaksi
Menyusul viralnya kejadian ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Pelalawan langsung memanggil pihak sekolah dan memfasilitasi pertemuan mediasi, Selasa (23/07), di ruang dinas bersama beberapa media lokal.
Dalam pertemuan itu, Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 3, Refi, menyebut bahwa siswa bersangkutan adalah “titipan” dari salah satu anggota DPRD Kabupaten Pelalawan. Namun alih-alih menjernihkan suasana, pernyataan tersebut justru memicu polemik baru karena dianggap menciderai asas objektivitas dan kesetaraan dalam pelayanan pendidikan publik.
Sementara itu, orang tua siswa menyampaikan bahwa anak mereka mengalami trauma psikologis dan hingga kini belum berani kembali ke sekolah.
“Sejak kejadian, anak saya hanya termenung di rumah dan tidak banyak bicara. Dia belum siap kembali ke sekolah,” ungkap ayah korban kepada Tim Media Berazam.com.
Momen Refleksi: Pendidikan Harus Ramah Anak
Peristiwa ini menyadarkan publik bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam sistem pendidikan nasional, khususnya soal sensitivitas terhadap kondisi ekonomi keluarga dan perlindungan hak anak di sekolah.
LBH PSHI, aktivis mahasiswa, dan masyarakat sipil menyerukan agar peringatan Hari Anak Nasional dijadikan momentum pembenahan total sistem pendidikan, agar menjadi ruang yang benar-benar ramah, adil, dan membebaskan anak-anak Indonesia dari segala bentuk tekanan, diskriminasi, maupun kekerasan terselubung.
“Pendidikan bukan ruang intimidasi, tapi tempat tumbuhnya keberanian, semangat, dan masa depan,” tutup Tauhid.*
[]hendra