Oleh: Firka Maulana, Presma UIR (2015-2016), Koordinator Pusat BEM Se Riau (2015-2016)
Firka Maulana
Mengungkap Fakta Dibalik Permohonan PT RAPP
Selasa 19 Desember 2017, 14:58 WIB
![](foto_berita/3IMG_20171219_144257.jpg)
Sepekan terakhir aktivitas LSM lingkungan di Riau, dimotori Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), terasa sangat tinggi. Dimulai dengan konferensi pers di Jakarta dan disusul di Pekanbaru, Riau serta menyebar sekian banyak ujaran di media sosial. Belum pernah rasanya Jikalahari membuat kegiatan super padat seperti sekarang ini.
Di Jakarta, Jikalahari membangun asumsi bahwa dampak kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan hutan tanaman industri PT Rian Andalan Pulp and Paper, tidak sepadan dengan penerimaan negara. Di Pekanbaru, Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang diserang dengan tudingan lemah mengatasi kejahatan lingkungan. Selain itu berbagai agitasi disebar melalui media sosial.
Inti serangan itu gampang ditebak. LSM ingin permohonan PT RAPP kepada pemerintah (baca : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kalah dalam sidang PTUN jakarta.
Jadi untuk tujuan itu, serangan demi serangan dibombardir ke segala arah. Bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan persoalan utama dilempar ke ranah publik. Misalnya, data utang perusahaan diumbar. Struktur kepemilikan perusahaan dibeberkan. Data itu sesungguhnya biasa-biasa saja, namun dibuat seolah-olah menjadi daftar dosa luar biasa.
Salah satu agitasi paling baru adalah penyebaran isu “Kenapa PT RAPP Melawan Kebijakan Pemerintah”. Judul itu berbau propaganda yang tidak patut. Kenapa tidak patut? Karena tidak sesuai fakta.
Mari kita buktikan fakta-fakta itu.
Adalah fakta bahwa PT RAPP belum berkenan mengubah Rencana Kerja Usaha-nya untuk mengikuti perintah Kementerian LHK untuk tidak menanam pada kawasan lindung gambut. Perintah itu tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017 tentang Pembangunan HTI.
Pertanyaanya, mengapa PT RAPP belum berkenan mengubah RKU?
Hal itu lebih disebabkan fakta bahwa aturan untuk mengubah RKU itu tidak ada dasar hukumnya lagi. Hal itu berlaku semenjak Mahkamah Agung mengabulkan uji materi yang diajukan SPSI Riau terhadap beberapa pasal dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017. MA menyatakan pasal-pasal perubahan RKU dalam Permen LHK No 17/2017 cacat hukum.
Dalam persepsi LSM, meski Permen No 17/2017 telah dibatalkan, namun aturan mengubah RKU masih terdapat pada PP No 71/2014 yang direvisi menjadi PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sekarang buka PP gambut itu.
Coba baca baik-baik isinya. Runut satu per satu. Pasal demi pasal.
Faktanya, tidak ada pasal yang mengatur tentang RKU perusahaan HTI. Akan tetapi, PP itu tetap dipertahankan menjadi dalil dengan memberikan tafsir meluas.
Menurut Penasehat Hukum PT RAPP, Andi Ryza Fardiansyah dari Kantor Pengacara Hamdan Zoelva, kalaupun dipaksanakan (walau tidak boleh) bahwa PP Gambut dapat mengatur tata kelola gambut, namun sebuah aturan tidak boleh berlaku surut. Karena faktanya, RKU PT RAPP sudah disahkan jauh hari sebelum PP Gambut disahkan.
Bukan itu saja, tambah Andi, masih ada ketentuan yang tidak boleh dilanggar pemerintah yaitu pasal 45 PP 71/2014. Pasal ini memberlakukan pembatasan. Aturan tata kelola gambut pada PP tidak berlaku secara total, melainkan hanya untuk izin HTI baru. Adapun untuk pemegang izin lama, masih dibolehkan beraktivitas di kawasan lindung gambut sampai izin berakhir. Pasal itu dibuat negara untuk memberikan kepastian hukum dan berusaha. Itu adalah fakta hukum.
Fakta lainnya, Kementerian LHK bersikukuh mencabut RKU PT RAPP meski dasar aturannya sudah tidak sah. Artinya, pemerintah telah berlaku sewenang-wenang.
Fakta berikutnya lagi, PT RAPP mengajukan keberatan terhadap pencabutan RKU itu. Keberatan itu sah, karena pemerintah telah membuat mekanisme pengajuan keberatan lewat UU No 30/2014 tentang Adiministrasi Pemerintahan.
UU memerintahkan pemerintah hanya diberi 10 hari untuk menjawab. Apabila tidak dijawab, maka permohonan keberatan warga masyarakat dianggap diterima. Lalu, pemerintah diwajibkan mengeluarkan surat menyetujui keberatan itu.
Namun lagi-lagi Menteri LHK yang tidak patuh. Faktanya, KLHK tidak bersedia menjawab keberatan PT RAPP. Setelah batas waktu terlewat, fakta, KLHK tidak juga mengeluarkan surat persetujuan terhadap keberatan PT RAPP.
Jadi, karena perlawanan KLHK terhadap UU itulah, PT RAPP mengajukan permohonan kepada PTUN agar KLHK membatalkan surat No 5322/2017 yang mencabut RKU perusahaan itu. Karena tidak ada yang dapat memaksa pemerintah, kecuali putusan pengadilan.
Ada lagi propaganda LSM yang menyebutkan bahwa sekarang ini tuntutan dunia adalah NDPE (No deforestation, no peat and no eksploitation). Istilah deforestasi (kehilangan hutan) sebenarnya tidak tepat. Karena PT RAPP adalah perusahaan yang diberi izin mengelola hutan produksi. Dalam UU Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang boleh diambil manfaatnya, termasuk menebang kayunya, namun harus ditanam lagi. Tidak boleh ada lembaga atau negara lain yang berhak mencampuri dan mengganggu urusan negara RI.
Sebagai perbandingan, negara Amerika, Finlandia, Brazil dan beberapa negara besar lain di Eropa juga memiliki hutan produksi. Tanaman hutan itu juga ditebang oleh perusahaan untuk bahan baku kertas atau keperluan lain yang diberi izin negara bersangkutan. Kalau terminologi LSM dipakai, berarti negara Amerika dan Eropa dimaksud juga mengalami deforestasi. Mengapa itu tidak dipersoalkan LSM?
No peat (gambut)? Apa iya? Bukankah di Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, gambut justru diproduksi untuk pembangkit listrik dan keperluan lain. Kenapa hanya gambut Indonesia yang diributkan?
Niatan LSM/ KLHK untuk menyelamatkan ekosistem gambut untuk mengurangi emisi karbon dioksida adalah sesuatu yang patut didukung. Namun langkah itu tidak boleh menabrak aturan. Masih banyak kawasan gambut di hutan lindung atau hutan konservasi milik negara yang semestinya diperbaiki dan diamankan dari kerusakan parah terlebih dahulu. Untuk urusan gambut di hutan produksi, nanti dulu, karena masih ada izin negara di atasnya.
Oya masih ada satu fakta yang semestinya diketahui masyarakat. Indonesia adalah negara non Annex I dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim. Kelompok non-Annex I adalah negara-negara yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca. Namun Indonesia boleh berpartisipasi dengan kerelaan. Bukan paksaan.
Negara yang wajib mengurangi emisi karbon/gas rumah kaca itu adalah negara-negara maju yang sejak ratusan tahun lalu menghancurkan hutan dan sumber daya alam untuk industrinya. Dengan merusak alam justru membuat negara-negara itu menjadi besar seperti sekarang.
Nah, sudah lihat kan fakta-faktanya. Apakah PT RAPP dapat dikategorikan perusahaan yang melawan negara?
Di Jakarta, Jikalahari membangun asumsi bahwa dampak kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan hutan tanaman industri PT Rian Andalan Pulp and Paper, tidak sepadan dengan penerimaan negara. Di Pekanbaru, Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang diserang dengan tudingan lemah mengatasi kejahatan lingkungan. Selain itu berbagai agitasi disebar melalui media sosial.
Inti serangan itu gampang ditebak. LSM ingin permohonan PT RAPP kepada pemerintah (baca : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kalah dalam sidang PTUN jakarta.
Jadi untuk tujuan itu, serangan demi serangan dibombardir ke segala arah. Bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan persoalan utama dilempar ke ranah publik. Misalnya, data utang perusahaan diumbar. Struktur kepemilikan perusahaan dibeberkan. Data itu sesungguhnya biasa-biasa saja, namun dibuat seolah-olah menjadi daftar dosa luar biasa.
Salah satu agitasi paling baru adalah penyebaran isu “Kenapa PT RAPP Melawan Kebijakan Pemerintah”. Judul itu berbau propaganda yang tidak patut. Kenapa tidak patut? Karena tidak sesuai fakta.
Mari kita buktikan fakta-fakta itu.
Adalah fakta bahwa PT RAPP belum berkenan mengubah Rencana Kerja Usaha-nya untuk mengikuti perintah Kementerian LHK untuk tidak menanam pada kawasan lindung gambut. Perintah itu tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017 tentang Pembangunan HTI.
Pertanyaanya, mengapa PT RAPP belum berkenan mengubah RKU?
Hal itu lebih disebabkan fakta bahwa aturan untuk mengubah RKU itu tidak ada dasar hukumnya lagi. Hal itu berlaku semenjak Mahkamah Agung mengabulkan uji materi yang diajukan SPSI Riau terhadap beberapa pasal dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017. MA menyatakan pasal-pasal perubahan RKU dalam Permen LHK No 17/2017 cacat hukum.
Dalam persepsi LSM, meski Permen No 17/2017 telah dibatalkan, namun aturan mengubah RKU masih terdapat pada PP No 71/2014 yang direvisi menjadi PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sekarang buka PP gambut itu.
Coba baca baik-baik isinya. Runut satu per satu. Pasal demi pasal.
Faktanya, tidak ada pasal yang mengatur tentang RKU perusahaan HTI. Akan tetapi, PP itu tetap dipertahankan menjadi dalil dengan memberikan tafsir meluas.
Menurut Penasehat Hukum PT RAPP, Andi Ryza Fardiansyah dari Kantor Pengacara Hamdan Zoelva, kalaupun dipaksanakan (walau tidak boleh) bahwa PP Gambut dapat mengatur tata kelola gambut, namun sebuah aturan tidak boleh berlaku surut. Karena faktanya, RKU PT RAPP sudah disahkan jauh hari sebelum PP Gambut disahkan.
Bukan itu saja, tambah Andi, masih ada ketentuan yang tidak boleh dilanggar pemerintah yaitu pasal 45 PP 71/2014. Pasal ini memberlakukan pembatasan. Aturan tata kelola gambut pada PP tidak berlaku secara total, melainkan hanya untuk izin HTI baru. Adapun untuk pemegang izin lama, masih dibolehkan beraktivitas di kawasan lindung gambut sampai izin berakhir. Pasal itu dibuat negara untuk memberikan kepastian hukum dan berusaha. Itu adalah fakta hukum.
Fakta lainnya, Kementerian LHK bersikukuh mencabut RKU PT RAPP meski dasar aturannya sudah tidak sah. Artinya, pemerintah telah berlaku sewenang-wenang.
Fakta berikutnya lagi, PT RAPP mengajukan keberatan terhadap pencabutan RKU itu. Keberatan itu sah, karena pemerintah telah membuat mekanisme pengajuan keberatan lewat UU No 30/2014 tentang Adiministrasi Pemerintahan.
UU memerintahkan pemerintah hanya diberi 10 hari untuk menjawab. Apabila tidak dijawab, maka permohonan keberatan warga masyarakat dianggap diterima. Lalu, pemerintah diwajibkan mengeluarkan surat menyetujui keberatan itu.
Namun lagi-lagi Menteri LHK yang tidak patuh. Faktanya, KLHK tidak bersedia menjawab keberatan PT RAPP. Setelah batas waktu terlewat, fakta, KLHK tidak juga mengeluarkan surat persetujuan terhadap keberatan PT RAPP.
Jadi, karena perlawanan KLHK terhadap UU itulah, PT RAPP mengajukan permohonan kepada PTUN agar KLHK membatalkan surat No 5322/2017 yang mencabut RKU perusahaan itu. Karena tidak ada yang dapat memaksa pemerintah, kecuali putusan pengadilan.
Ada lagi propaganda LSM yang menyebutkan bahwa sekarang ini tuntutan dunia adalah NDPE (No deforestation, no peat and no eksploitation). Istilah deforestasi (kehilangan hutan) sebenarnya tidak tepat. Karena PT RAPP adalah perusahaan yang diberi izin mengelola hutan produksi. Dalam UU Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang boleh diambil manfaatnya, termasuk menebang kayunya, namun harus ditanam lagi. Tidak boleh ada lembaga atau negara lain yang berhak mencampuri dan mengganggu urusan negara RI.
Sebagai perbandingan, negara Amerika, Finlandia, Brazil dan beberapa negara besar lain di Eropa juga memiliki hutan produksi. Tanaman hutan itu juga ditebang oleh perusahaan untuk bahan baku kertas atau keperluan lain yang diberi izin negara bersangkutan. Kalau terminologi LSM dipakai, berarti negara Amerika dan Eropa dimaksud juga mengalami deforestasi. Mengapa itu tidak dipersoalkan LSM?
No peat (gambut)? Apa iya? Bukankah di Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, gambut justru diproduksi untuk pembangkit listrik dan keperluan lain. Kenapa hanya gambut Indonesia yang diributkan?
Niatan LSM/ KLHK untuk menyelamatkan ekosistem gambut untuk mengurangi emisi karbon dioksida adalah sesuatu yang patut didukung. Namun langkah itu tidak boleh menabrak aturan. Masih banyak kawasan gambut di hutan lindung atau hutan konservasi milik negara yang semestinya diperbaiki dan diamankan dari kerusakan parah terlebih dahulu. Untuk urusan gambut di hutan produksi, nanti dulu, karena masih ada izin negara di atasnya.
Oya masih ada satu fakta yang semestinya diketahui masyarakat. Indonesia adalah negara non Annex I dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim. Kelompok non-Annex I adalah negara-negara yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca. Namun Indonesia boleh berpartisipasi dengan kerelaan. Bukan paksaan.
Negara yang wajib mengurangi emisi karbon/gas rumah kaca itu adalah negara-negara maju yang sejak ratusan tahun lalu menghancurkan hutan dan sumber daya alam untuk industrinya. Dengan merusak alam justru membuat negara-negara itu menjadi besar seperti sekarang.
Nah, sudah lihat kan fakta-faktanya. Apakah PT RAPP dapat dikategorikan perusahaan yang melawan negara?
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Komentar Anda
Berita Terkait
Berita Pilihan
Kamis 25 Juli 2024
Sukses, Seminar Antarabangsa ke-12 “EHMAP” Kerjasama Unri-UKM Malaysia Bahas 60 Paper
Selasa 23 Juli 2024
Tekor Berkepanjangan, Majalah GATRA Akhirnya Tutup !
Selasa 23 Juli 2024
FKPRM dan PPMR Keluarkan Pernyataan Sikap, Tolak Pembalonan Nasir
Senin 15 Juli 2024
Blak -Blakan Robert Hendrico Terkait Kepemimpinan Pj Gubernur Riau SF Hariyanto
Rabu 10 Juli 2024
Diam-diam, Senator Riau Empat Periode Instiawaty ''Iin'' Ayus Ini Gelontorkan APBN untuk Atasi Banjir
Senin 24 Juni 2024
Seleksi Masuk Unri Jalur Mandiri PBUD/PBM: Nilai UTBK Jadi Penentu Jika Pendaftar Lebihi Kuota
Minggu 23 Juni 2024
Aksi Pengrusakan Baleho Mengguncang Politik Pilkada Riau: Persaingan Memanas di Kota Rengat
Senin 17 Juni 2024
Kapolda Kepri Lakukan Alih Fungsi Tugas 366 Personel, 18 Orang Dimutasi, Pandra: Mutasi Hal Biasa untuk Penyegaran
Minggu 16 Juni 2024
Unri Tak Pungut IPI, Peluang Mahasiswa Lolos Jalur SMM-PTN Barat Sangat Besar
Sabtu 15 Juni 2024
Kemendikbudristek Setujui UKT Turun ke Tarif Lama, Unri Segera Kembalikan Uang Kelebihan Bayar
Berita Terkini
Jumat 26 Juli 2024, 23:34 WIB
Ketua Umum FKPMR dan PPMR Dipanggil Polda Riau, Ini Respon Keras Fauzi Kadir dan Robert Hendrico
Jumat 26 Juli 2024, 13:29 WIB
Pemprov Siapkan Bonus Rp40 M Untuk Atlet Peraih Medali PON XXI Aceh-Sumut
Jumat 26 Juli 2024, 13:24 WIB
Pj Gubri Usulkan Erisman Yahya Jadi Calon Pj Bupati Inhil
Jumat 26 Juli 2024, 11:42 WIB
BMKG: 45 Hotspot Terdeteksi di Riau, Rokan Hilir Terbanyak
Jumat 26 Juli 2024, 07:28 WIB
Tokoh FKPMR & PPMR Gercep Antarkan Langsung Aspirasi Rakyat Riau ke 3 Parpol ke Episentrum Kekuasaan Jakarta
Kamis 25 Juli 2024, 21:56 WIB
Sukses, Seminar Antarabangsa ke-12 “EHMAP” Kerjasama Unri-UKM Malaysia Bahas 60 Paper
Kamis 25 Juli 2024, 20:13 WIB
Golkar – PKS Resmi Berkoalisi di Pilgubri 2024, Syamsuar-Mawardi Calon Pertama yang Siap Berlayar
Kamis 25 Juli 2024, 16:30 WIB
Bantu Untuk Mengatur Lalu Lintas, Dirlantas Latih 78 'Pak Ogah'
Kamis 25 Juli 2024, 13:21 WIB
Tindaklanjuti Keluhan Warga, Pj Gubri SF Hariyanto Tinjau 4 Ruas Jalan di Kota Pekanbaru
Kamis 25 Juli 2024, 11:00 WIB
Pj Gubernur Riau Minta BUMD Berikan Dampak Positif Bagi Perekonomian Masyarakat