Kelapa Sawit Sebagai Masa Depan Riau
Kamis 12 April 2018, 08:08 WIB
ist
berazamcom - Kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak goreng, minyak industri dan bahan bakar biodiesel yang menyeruak menjadi andalan masa depan energi dunia di tengah ancaman eksistensi bahan bakar fosil. Sawit ditemukan pertama kali di Amerika Selatan dan diperkenalkan di Indonesia oleh kolonial Belanda pada tahun 1848. Kini, perkebunan kelapa sawit menyebar dari Sumatera hingga Papua dengan luas lahan lebih dari 12 juta hektar hingga menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.
Perkebunan sawit terbesar di Indonesia berada di Riau dengan luas 3 juta hektare, dimana separuhnya merupakan perkebunan rakyat (swadaya dan plasma), sedangkan sisanya dikuasai korporasi nasional dan asing, khususnya Malaysia. Perkebunan rakyat dikelola oleh hampir 400.000 kepala keluarga dan menghidupi lebih dari seperempat populasi penduduk Riau yang menurut sensus 2010 berjumlah 5,5 juta jiwa. Sehingga tidak salah jika kelapa sawit merupakan tumpuan ekonomi masyarakat Riau.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan data Bank Dunia yang menyebutkan, petani sawit menikmati dua hingga tujuh kali lipat pendapatan jenis komoditas pertanian lainnya. Terbukti, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di tingkat petani, tahun 2015 pendapatan petani sawit sudah mencapai US$ 4.630 hingga US$ 5.500 per tahun. Bahkan, data Bank Indonesia tahun 2017 menyebutkan, perkebunan kelapa sawit telah menopang hingga hampir 40% perekonomian Riau.
Minyak sawit, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, menyumbang 68% total ekspor Riau yang menempatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau di urutan ke lima nasional, dan terbesar untuk provinsi di luar Pulau Jawa. Produksi minyak sawit Riau pada tahun 2017 sebesar 7 juta ton dan mendominasi hampir separuh total produksi minyak sawit nasional. Besarnya produksi CPO tersebut, telah menggantikan ketergantungan Riau pada tambang gas dan minyak bumi yang terus menurun.
Namun sayangnya, statistik fantastis di atas belum lah cerminan kondisi objektif masyarakat Riau secara keseluruhan, karena data terbaru angka kemiskinan di Provinsi Riau masih mencapai hampir setengah juta jiwa. Ketimpangan ini, jika dikaitkan dengan potensi ekonomi perkebunan sawit yang demikian luar biasa, disebabkan oleh dua hal utama.
Pertama, kepemilikan sawit rakyat secara swadaya yang tergolong rendah dengan tingkat produktivitas yang juga rendah. Meskipun separuh perkebunan sawit riau merupakan perkebunan rakyat, namun didominasi perkebunan plasma. Perkebunan plasma merupakan perkebunan satu atap, dimana pengelolaan kebun dilakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani hanya mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan melalui wadah koperasi. Manajemen satu atap ini diatur dalam Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.
Pola kemitraan perusahaan dengan masyarakat tempatan ini menimbulkan banyak konflik, baik antara masyarakat dengan perusahaan, maupun antar masyarakat sendiri khususnya dengan koperasi yang lebih condong menjadi perpanjangan perusahaan ketimbang anggota koperasinya sendiri. Konfliknya cenderung tidak jauh dari isu tranparansi hasil kebun dan ketidakjelasan lahan plasma yang hanya di atas kertas.
Sedangkan perkebunan swadaya rakyat masih berkutat pada masalah kualitas bibit, keterbatasan pengetahuan dalam perawatan yang berujung pada rendahnya produktivitas. Angka produktivitas sawit rakyat tercatat hanya 2-3 ton/hektare, sedangkan kebun perusahaan swasta bisa mencapai 4-6 ton/hektare. Padahal, jika perkebunan rakyat dikelola dengan baik, bisa mencapai 8 ton/hektare. Angka ini pun makin jauh jika dibandingkan produktivitas sawit Malaysia yang mencapai 12 ton/hektare.
Kedua, ekspor sawit masih didominasi minyak sawit bukannya produk turunan. Hingga kini, Indonesia hanya mampu mengekspor 15% produk turunan minyak sawit, sehingga sebagian besarnya masih di ekspor dalam bentuk CPO. Menyedihkannya, sebagai provinsi penghasil CPO terbesar, hingga kini belum ada industri pengolahan produk turunan sawit di Riau. Intervensi pemerintah melalui perwujudan empat kawasan industri terpadu di Pekanbaru, Dumai, Siak dan Enok, Inhil belum menunjukkan gelagat keseriusan.
Lemahnya hilirisasi minyak sawit, secara langsung berimbas pada ketidakoptimalan penghasilan pemerintah dan pendapatan rakyat Riau. Nilai tambah dari industri hilir sawit yang seyogyanya dipusatkan di wilayah perkebunan kelapa sawitnya, secara langsung akan meningkatkan pajak, menyerap lapangan kerja dan efek turunannya pada perekonomian Riau secara keseluruhan. Jika tidak, maka bisa disebut Riau hanya lah tempat berkebun kelapa sawit semata.
Potensi besar perkebunan kelapa sawit di Riau, meniscayakan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia kampus serta kelompok masyarakat sawit menyegerakan upaya optimalisasi nilai ekonominya bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan regulasi memadai, terobosan kebijakan serta keberpihakan pada kepentingan ekonomi masyarakat. Jika tidak, perkebunan kelapa sawit Riau hanya akan menjadi perulangan cerita manisnya kilang minyak Riau yang telah menghasilkan milayaran barel minyak ke pasaran global, namun gagal menyejahterakan masyarakat Riau.*
[]bazm-8
Perkebunan sawit terbesar di Indonesia berada di Riau dengan luas 3 juta hektare, dimana separuhnya merupakan perkebunan rakyat (swadaya dan plasma), sedangkan sisanya dikuasai korporasi nasional dan asing, khususnya Malaysia. Perkebunan rakyat dikelola oleh hampir 400.000 kepala keluarga dan menghidupi lebih dari seperempat populasi penduduk Riau yang menurut sensus 2010 berjumlah 5,5 juta jiwa. Sehingga tidak salah jika kelapa sawit merupakan tumpuan ekonomi masyarakat Riau.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan data Bank Dunia yang menyebutkan, petani sawit menikmati dua hingga tujuh kali lipat pendapatan jenis komoditas pertanian lainnya. Terbukti, indeks kesejahteraan masyarakat pedesaan Riau sejak 1995 hingga 2015 terus meningkat. Di tingkat petani, tahun 2015 pendapatan petani sawit sudah mencapai US$ 4.630 hingga US$ 5.500 per tahun. Bahkan, data Bank Indonesia tahun 2017 menyebutkan, perkebunan kelapa sawit telah menopang hingga hampir 40% perekonomian Riau.
Minyak sawit, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, menyumbang 68% total ekspor Riau yang menempatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau di urutan ke lima nasional, dan terbesar untuk provinsi di luar Pulau Jawa. Produksi minyak sawit Riau pada tahun 2017 sebesar 7 juta ton dan mendominasi hampir separuh total produksi minyak sawit nasional. Besarnya produksi CPO tersebut, telah menggantikan ketergantungan Riau pada tambang gas dan minyak bumi yang terus menurun.
Namun sayangnya, statistik fantastis di atas belum lah cerminan kondisi objektif masyarakat Riau secara keseluruhan, karena data terbaru angka kemiskinan di Provinsi Riau masih mencapai hampir setengah juta jiwa. Ketimpangan ini, jika dikaitkan dengan potensi ekonomi perkebunan sawit yang demikian luar biasa, disebabkan oleh dua hal utama.
Pertama, kepemilikan sawit rakyat secara swadaya yang tergolong rendah dengan tingkat produktivitas yang juga rendah. Meskipun separuh perkebunan sawit riau merupakan perkebunan rakyat, namun didominasi perkebunan plasma. Perkebunan plasma merupakan perkebunan satu atap, dimana pengelolaan kebun dilakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani hanya mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan melalui wadah koperasi. Manajemen satu atap ini diatur dalam Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.
Pola kemitraan perusahaan dengan masyarakat tempatan ini menimbulkan banyak konflik, baik antara masyarakat dengan perusahaan, maupun antar masyarakat sendiri khususnya dengan koperasi yang lebih condong menjadi perpanjangan perusahaan ketimbang anggota koperasinya sendiri. Konfliknya cenderung tidak jauh dari isu tranparansi hasil kebun dan ketidakjelasan lahan plasma yang hanya di atas kertas.
Sedangkan perkebunan swadaya rakyat masih berkutat pada masalah kualitas bibit, keterbatasan pengetahuan dalam perawatan yang berujung pada rendahnya produktivitas. Angka produktivitas sawit rakyat tercatat hanya 2-3 ton/hektare, sedangkan kebun perusahaan swasta bisa mencapai 4-6 ton/hektare. Padahal, jika perkebunan rakyat dikelola dengan baik, bisa mencapai 8 ton/hektare. Angka ini pun makin jauh jika dibandingkan produktivitas sawit Malaysia yang mencapai 12 ton/hektare.
Kedua, ekspor sawit masih didominasi minyak sawit bukannya produk turunan. Hingga kini, Indonesia hanya mampu mengekspor 15% produk turunan minyak sawit, sehingga sebagian besarnya masih di ekspor dalam bentuk CPO. Menyedihkannya, sebagai provinsi penghasil CPO terbesar, hingga kini belum ada industri pengolahan produk turunan sawit di Riau. Intervensi pemerintah melalui perwujudan empat kawasan industri terpadu di Pekanbaru, Dumai, Siak dan Enok, Inhil belum menunjukkan gelagat keseriusan.
Lemahnya hilirisasi minyak sawit, secara langsung berimbas pada ketidakoptimalan penghasilan pemerintah dan pendapatan rakyat Riau. Nilai tambah dari industri hilir sawit yang seyogyanya dipusatkan di wilayah perkebunan kelapa sawitnya, secara langsung akan meningkatkan pajak, menyerap lapangan kerja dan efek turunannya pada perekonomian Riau secara keseluruhan. Jika tidak, maka bisa disebut Riau hanya lah tempat berkebun kelapa sawit semata.
Potensi besar perkebunan kelapa sawit di Riau, meniscayakan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia kampus serta kelompok masyarakat sawit menyegerakan upaya optimalisasi nilai ekonominya bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan regulasi memadai, terobosan kebijakan serta keberpihakan pada kepentingan ekonomi masyarakat. Jika tidak, perkebunan kelapa sawit Riau hanya akan menjadi perulangan cerita manisnya kilang minyak Riau yang telah menghasilkan milayaran barel minyak ke pasaran global, namun gagal menyejahterakan masyarakat Riau.*
[]bazm-8
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Komentar Anda
Berita Terkait
Berita Pilihan
Rabu 15 Mei 2024
Edy Natar Nasution Kembali Berkomitmen Politik, Kembalikan Formulir Pendaftaran ke PAN Riau
Jumat 08 Maret 2024
Stikes Tengku Maharatu Wisuda Lagi 231 Sarjana Kesehatan dan Profesi Ners
Senin 22 Januari 2024
Letakan Batu Pertama, Stikes Tengku Maharatu Bangun Kampus Empat Lantai
Selasa 28 November 2023
Satu Jam Bersama Gubernur Riau Edy Natar : Mimpi Sang Visioner dan Agamis
Selasa 21 November 2023
Silaturahmi IKBR dengan Plt Gubri, Edy Nasution: Insha Allah Saya Maju
Minggu 01 Oktober 2023
Bravo 28 Usulkan Ganjar-Jokowi Pasangan Pilpres 2024
Rabu 27 September 2023
Hendry Ch Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028
Rabu 20 September 2023
Perginya Dosen Ramah, Humoris, dan Rendah Hati
Senin 18 September 2023
Wow! Ternyata Harga Kontrak Impor LNG Pertamina yang Disidik KPK Jauh lebih Murah dari Harga LNG Domestik
Senin 11 September 2023
Menkominfo Mau Pajaki Judi Online, Ini Kata CERI
Berita Terkini
Sabtu 18 Mei 2024, 19:28 WIB
Ketua DPC PJS Kota Palembang Soroti Pembangunan Terminal Batubara Kramasan
Sabtu 18 Mei 2024, 18:10 WIB
Pernyataan Wan Abu Bakar Berpotensi Primordialisme, Tokoh Riau Edy Natar Nasution Angkat Bicara
Jumat 17 Mei 2024, 22:20 WIB
Dinkes Siak dan Apkesmi Gelar Webinar, Perkenalkan Program ILP
Jumat 17 Mei 2024, 10:57 WIB
Mahasiswa Hukum UIR Raih Best Speaker di Kontes Duta Wisata Riau 2024
Jumat 17 Mei 2024, 10:53 WIB
UIR Terima Bantuan Dana Pendidikan Sebesar Rp 70 Juta dari Bank Syariah Indonesia
Jumat 17 Mei 2024, 10:48 WIB
Viral! Beredar video Harimau Mati Tertabrak Mobil di Tol Permai, Ternyata Begini Faktanya
Jumat 17 Mei 2024, 10:41 WIB
Kisah Kontroversial Pemanggilan Pejabat Eselon 2 di Pemprov Riau: dari Spekulasi hingga Tersangka
Kamis 16 Mei 2024, 13:18 WIB
Tuhan Sedang Menyapa Kita
Kamis 16 Mei 2024, 07:57 WIB
Konsistensi Syamsuar Dipertanyakan: Dulu Tidak Maju, Sekarang Maju, Harris pun Merasa Tertipu?
Rabu 15 Mei 2024, 15:08 WIB
KPU Tegaskan Caleg Terpilih Harus Mundur Jika Maju Pilkada 2024